ZOOM

ZOOM
gaya

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 01 Maret 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYAH I Di DAMASKUS

A. Pendahuluan
Dinasti Umayah berjalan kurang lebih selama 89 tahun yaitu dari tahun (40-132 H / 661-750 M.) tapi dalam hal ini ada yang berpendapat dinasti umayah berjalan selama 90 tahun. Dalam perbedaan pedapat ini hanya selisih satu tahuun. Dinasti dalam sejarah telah banyak melakukan kontribusi positif dalam rangka penyebaran dan pengembangan islam islam itu sendiri. Meskipun ada sebagian dari para kholifah pada saat itu yang tidak membuahkan keberhasilan yang cukup signifikan atau bahkan menjerumuskan citra dinasti umayah itu sendiri.
Peta perjalanan dinasiti umayah ini ternyata pergerakannya tidak semata-mata dalam meyebarkan agama islam itu sendiri, akan tetapi lebih kepada pergerakan poliktik yang kadang-kadang barbau kepantingan pribadi terutma di kalangan pemimpin (kholifah). Sehingga menimbulkan disintegrasi baik di kalangan pejabat atau masyarakat pada saat itu
Peranan politik negara pada masa ini cukup jelas, yaitu dengan melihat sistem ketatanegaraan yang telah ada pada saat itu. Misalkan ketiaka dinasiti Umayah mengadakan penaklukan kedaerah yang lain, juga dilihat dari perjalanan pemerintahannya yang sudah ada lembaga institusi negara yang cukup sangat berperang penting dalam memajukan negara sehingga ke emasan atau masa kemajuan pada saat itu bisa dirasakan, hal itu tidak terlepas dari dengan tatanan politik yang bagus.
B. Awal Berdirinya Dinasti Umayah
Dinasiti Umayyah (sebut: Umayah) mengambil nama keturunan dari Umayah ibn Abdi Syam ibn Abdi manaf. Dia adalah seorang yang terkemuka pada masa jahiliyah, bergandengdengan pamannya yaitu Hasyim Ibn Abdi manaf. Keduanya sama-sama berebut pengaruh dalam peroses politik pada zaman jahiliyah. Akan tetapi, Hasyim ibn Abdi Manaf kalah dengan keponannya, Umayah lebih dominan pada saat itu. Karana Umayah itu sendiri adalah penguasa yang kaya raya dan dengan demikian lebih mudah dalam mempengaruhi suku Quraiys sehingga Hasyim tidak mampu mengimbangi Umayah keponaannya.
Dinasti Umayah adalah panerus kholfaur Rasyidin yang telah berahir pada tahun 40 H. sepeninggalan khalifah yang ke 4 Ali bin Abi Thalib, kepemimpinan ummat islam digantikan oleh Hasan bin Ali, setelah Hasan meninggal kekuasaan pada saat itu pindahkan kapada Muawiyah bin Abi Sofyan. Namum dalam buku yang lain kematian Hasan pada saat akibat keracunan, dan Muawiyah menjadi penguasa tunnga pada saat itu, dan memindahkan ibu kota pemerinyahan yang semua di Kufa dan sebelumnya lagi di Madinah berganti ke Damaskus. Pada saat itu ada tiga tokoh kunci yang berpengaruh di kalangan dinasti Umayah. Mereka adalah Amr bin al-Ash, Mughirah bin Sho’bah dan Ziyad ibn Abih. Ketiga orang iniah yang membantu meletakkan fondasi dinasti Umyah. Muawiyah sangat segan terhadap mereka karena tiga orang tersebut karena mereka paham betul apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan dirinya. Amr bin Ash adalah tokoh yang menyelamatkan Muawiyah pada saat perang Siffin, sementara Mughirah dan Ziyad dianggap sebagai tokoh yang memper-kokoh kedudukannya sebagai khalifah.
C. Kekhalifahan Umayah Di Damaskus
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (40-60/661-680 M)
Setelah kematian Hasan bin Ali akibat diracun, Muawiyah menjadi penguasa tunggal dan memindahkan ibu kota pemerintahan yang semula di Kuffah dan sebelumnya lagi di Madinah berganti ke Damaskus. Ada tiga tikoh yang berpengaruh besar dalam rangka mempertahankan Muawiyah sebagai kholifah pada saat itu, seperti telah di jelaskan diatas pada awal berdiriyanya bani Umayah dalam makalah ini.
Pada masa khalifah Muawiyah mengadakan perluasan ke daerah timur sampai ke Kabul, Kandahar, Ghazni, Balakh, bahkan sampai ke kota Bukhara. Selain itu kota Samarkan dan Tirmidz menjadi wilayah kekuasaanya. Pada masa itu , Muawiyah juga berusaha menaklukan kota konstatinupel ibu kota Romawai yang selau menjadi ancaman bagi kedaulatan ummat Islam. Sebanyak dua kali. Namun meskipun tidak berhasil, tentara Muawiyah berhasil menguasai pulau Rodes, Sijikas, Kreta, dan pulau-pulau lain di laut tengah (Ali 1976:326-329).
Kholfah Muawiyah pertama kali yang merubah pemerintahan dari corak republik menjadi monarki. Hal itu berdasarkan perkataan Muawiyah itu sendiri “saya adalah sultan pertama”, pernyataan ini dikutip dari Yaqubi dalam kitab al-Baidun (Ali 1976: 266-326). Pada 676 M. kholfah Umayah mengatakan bahwa anaknya sebagai putra mahkota yaitu Yazid sebagai putera mahkota.
Sistem pemerintahan yang munarki yang digagas oleh khalifah Muawiyah mendapat tantangan dari masyarakat, terbukti ketika Muawiyah pergi ke Mekah dan Madinah untuk meminta “restu” legitimasi dan mereka banyak yang memprotes akan pemerintahan yang demikian. Dan inilah merupakan cikal-bakal adanya kesenjangan antara Arab dan Mawali.
Muawiyah mimang dikenal dengan seorang administrator yang ulung. Dalam banyak hal dia melakukan banyak perubahan-perubahan. Dengan sifat tegas dan liciknya dia berhasil membujuk lawan politiknya. Dia juga yang pertama kali menerapkan Diwan al-Khatim, Diwan al-Barid dan Diwan áíwan. Disamping itu dibangun pos-pos pemeriksaan dalam rangka memengontrl gerak gerik musuh.
Menurut K. Ali, Muawiyah membagi dua kelompok dewan Syura yaitu Syura Khas (pusat) dan Mejlis Syura sementara (ad hoc). Dewan Syura dan majlis Syura menjadi media konsultasi Muawiyah dalam menghadapi permasalah yang dihadapi pada saat itu. Dengan demikan seakan-akan bentuk pemerintahan demokrasi akan tumbuh, akan tetapi lain halnya dengan Muawiyah yang tetap masih kokoh dengan pendiriannya yaitu sistem pemerintahan yang munarki. Sehingga bagi siapa saja yang mencoba menantang atau tidak terima akan hal itu maka pedanglah yang akan menghunusnya. Maka dengan demikian, masyarakat berduyun-duyun mengakui akan kesetiaannya kepada keputusan tersebut dan diangkatnya Yazid bin Muawaiyah sebagai putra mahkota.
D. Awal masa kejayaan Dinasti Umayah
2. Yazid I bin Muawiyah, (61-65 H/680-683 M)
Masa kekuasaan Yazid bin Muawiyah sangatlah singkat yaitu hanya berjalan selama 3 tahun. Kerana pembaiatan Yazid sebagai kholifah hanya mendapat perhatian setengah hati dari masyarakat Mekah dan Madinah. Akan tetapi Yazid mempunyai kemampuan dan memimpin perang lebih baik dibandingkan dengan Hasan maupun Khusen. Meskipun sistem pemerintahannya masih munarki, namun tetap mempertahankan Dewan Syura dan majlis Syura sebagai lambang pemerintahannya masih menganut sistem demokratis. Akan tetapi hal itu cuman menjadi topeng saja dalam rangka mengelabui masyarakat terutama di daerah Madinah dan Makah. Karena Yazid masih butuh pengakuan legitimasi dari masyarakat akan kepemimpinannya.
Preode Yazid ditandai dengan tiga keburukan dan hanya berbuat satu kebaikan, Yaitu pada masa pertama kekuasaan Yazid bin Muawiyah, cucu Nabi, Husen terbunuh di Karbala, sehingga gologan Syi’ah tidak terima dan menantang akan kekuasaan Yazid. Tahun kedua tentara Yazid menyerang abis-habisan kota Madinah dalam peperangan di Harra yang menyebabkan citra pasukan tercoren di muka sendiri, yaitu dengan diperkosanya wanita-wanita di daerah itu dan diantara orang tua disana tidak ada yang berani menyakan bahwa anak perempuannya masih perawan. Pada tahun ketiga tentara Yazid menyerang dan membakar ka’bah. Hal itu dilakukan karena Yazid sebagai khalifah tidak mendapat pengakuan dari para sahabat termasuk Kusen, Abdullah bin Zubair dan masyarakat Mekah dan Madinah. Sedangkan kebaikan Yazid pada saat itu hanya satu kali yaitu mangankatnya kembali Uqbal bin Mafi’I menjadi gubernur kedua kalinya di Ifriqiyah/Qayrawan. Setelah penyerangan di Bait Allah Yazid meninggal dunia pada 24 September 683 maka para tentara kembali ke Damaskus.
3. Muawiyah II bin Yazid (65-65 H/683-684 M)
Dalam menjabat sebagai khalifah Muawiya II tidak berlangsung lama. Kerena setelah beberapa bulan ia dinubatkan sebagai khalifah meninggal dunia. Muawiyah II ini terkenal dengan tidak tertariknya kapada kekuasaan sehingga ketika itu tidak ada semacam usaha Muawiyah II dalam rangka menjabat sebagai khalifah. Muawiyah II menjadi khalifah seakan-akan terpaksa karena tidak ada lagi yang dianggap pantas untuk menjadi pengganti Yazid sebagai khalifah dari kuluarga Muawiyah pada saat itu. Pada tahun itu khalifah Muawiyah II menjadi orang terahir dari keluarga dari keluarga Abu Sofyan, karena Muawiyah II tidak mempunyai putra, saudaranya Khalid bin Yazid diwabaikan oleh marwan yang diakui oleh para pembesar kalangan Umayah. Pada Saat itu negara membutuhkan khalifah yang kuat, dan Marwan dianggap pantas menjadi pengganti khalifah pada masa selanjutnya.
4. Marwan bin al-Hakam (65-66 H/684-685 M)
Setelah Marwan menjadi penguasa pada saat itu, dia menikahi ibunya Khalid atau istrinya Yazid bin Muawiyah yang ia diabaikan hak Walid sebagai pewaris khalifah Muawiyah II. Akan tetapi cinta tidak dapat bersemi dalam diri ibu Khalid sebagai ibu negara pada saat itu. Sehingga Marwan bin al-Hikam terbunuh dengan dicekik lehernya dalam keadaan tidur.
Akan tetapi akibat naiknya Marwan sebagai khalifah, keadaan negara semakin curat-marut sehingga denga segara mensahkan Abdul Malik sebagai pewaris tahata, yaitu putra dari Marwan itu sendiri.
5. Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685-705 M)
Setelah Abdul Malik bin Marwan manjabat sebagai khalifah, ia menghadapi banyak tantangan. Satu sisi muncul Muchtar sebagai pembela kematian Husen di Karbala. Di sisi lain musuh utama Umayah, Abdul bin Zubairi masih menjadi khalifah yang mengendalaikan Mekah dan Madinan (selama 9 tahun). Sementara orang-orang Kuffah juga menulak kedaulatannya. Juga kelompok Khwarij dan Syi’ah menggoyan pemerintahan Umayah.
Sebuah langkah yang strategis yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dalam menyerang musuh-musuhnya. Sehingga dia berhasil membasmi semuanya. Sedangkan keberhasilan lain yang dilakukan oleh Abdul Malik adalah mengangkatnya Gubernur Jenderal Hajjaj bin Yusuf. Menjelang wafatnya Abdul Malik meninggalkan negara dalam keadaan aman, maka ia mendapat julukan sebagai pendiri Dinasti Umayah kedua. Dan paa saat itu dinasti Umayah memasuki pereode keemasan dan tingkat peradaban pada saat itu mulai membaik. Misalnya denga diresmikannya bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Ia juga mencetak uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals. Dan pertama kali dalam sejararah bahasa Arab menggunakan titik (.) koma (,), dan memperbaharui Qawa’id yang sudah dimulai zaman khalifah Ali bin Abi Thalib yang ditugaskan kapada Abu al-Aswad al-Duwali.
6. Al-Walid bin Abdul-Malik (86-97 H/705-715 M)
Pada masa ini arus ekspansi islam mencapai puncaknya yang dimulai sejak masa khalifaur Rasyidin (Abu Bakar Shidiq). Pada saat itu peta islam paling luas dalam catatan sejarah, yaitu dengan tiga benu yang dikuasai, Asia, Afrika, Eropa (barat daya). Di daerah timur daerah kekuasaan bahkan sampai di anak benua India (wilyah pakistan sekarang), dan perbatasan Cina. Sementara dibagian Utara meliputi Aleppo (di barat laut), Asia kecil, Cesnia, dan Armenia sampai di timur laut, seberang sungai (ma Wara al-Nahr), termasuk sekarang yang disebut negara Turkmenistan, kergistan, Uzbegistan, Kazagistan di Asia tengah, termasuk Afghanistan dan Persia. Di bagian barat islam seluruh Afrika Utara sampai Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) dan sebagian Prancis serta kepulauan di laut tengan (Muir 1892: 355-370, Watts, 1893: 1-15, dan Yatim, 1993: 42-45).
Pada pereode al-Walid terkenal dengan negara yang damai dan rakyat mendapat jaminan keamanan. Ia dinilai sebagai panguasa yang merakyat. Banyak madrasah dan sekolah kedokteran ia dirikan. Sedangkan orang-orang lensia, lumpuh, orang gila dan wanita menderita yang tidak mempu membiayai anaknya karena suaminya sudah tiada atau mati akibat gugur dalam pertempuran mendapat jaminan hidup gratis. Khalifah yang satu ini dikenal suka terhadap sastra serta puisi. Untuk mengkaji Al-Qur’an dan Hadits dibangun pusat kajian islam di Mekah, Madinah, Basrah, Kufah dan tempat-tempat lain. Dan masjid-masjid dibangun dengan bagitu indah dimana-mana, baik di Damaskus, Mesir dan lain sebagainya. Dan setelah ditelusuru ternyata masa ini adalah masa yang paling luhur/agung.
7. Sulaiman bin Abdul-Malik (79-99 H/715-717 M)
Setelah Al-Walid bin Abdul Malik wafat, saudaranya, Sulaiman naik tahta sesuai dengan wasiat ayah mereka. Pada masa ini dinilai kurang baik dari masa sebelumnya. Di bawah pemerintahannya, ekspansi berlanjut ke bagian pegunungan di Iran seperti Tabiristan. Sulaiman juga memerintahkan serangan ke Konstantinopel, namun gagal. Di kancah domestik, dengan baik ia telah membangun di Makkah untuk ziarah, dan mengorganisasi pelaksanaan ibadah. Sulaiman dikenal untuk kemampuan pidatonya yang luar biasa, namun hukuman matinya pada ke-3 jenderalnya menyuramkan reputasinya.
Prestasi sulaiman perlu dicacat, yaitu dia membatalkan wasiat ayahnya dan mengankat Umar II sebagai penggantinya dan Ia mengabaikan saudara dan putranya dan mengankat Umar II bin Abdul-Aziz sebagai penggantinya.
8. Umar II bin Abdul-Aziz (99-102 H/717-720 M)
Umar bin Abdul-Aziz bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1] adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.
Pada masa pemerintahan Umar II semua kekayaan yang ia miliki dikirim ke kas negara. Namun sebelumnya Umar II adalah orang yang kaya raya. Ia didiskripsikan dalam salah satu buku sejarah sebagai seorang yang selalu gonta-ganti dan selalu terlambat kemasjid di hari jum’at karena pembantunya belum selesai merawat rambutnya. Akan tetapi ia tiba-tiba melompat ke puncak tanjakan hidupnya, meninggalkan semua kemewahan, untuk memikul tanggung jawab yang berat dengan semangat kepahlawanan. Dan pola hidupnya berubah menjadi sederhana, tetapi penuh dengan tanggung jawab. Dan mengedapankan kepentingan negara daitas kepentingan pribadi ataupun keluarganya.
Umar II dalam menata adiministrasi pemerintahan terfokus dalam dua krakteristik. Pertama memberikan jaminan dan keamanan bagi rakyat demi mewujudkan ketenangan dan keamanan. Ia meninggalkan kabijakan para penduhulunya yang terfokus kepada perluasan wilayah. Kedua demi mewujudkan keamanan dan ketertiban, baik ia pribadi maupun kebijakan pemerintah yang netral dan berda diatas golongan, ras, dan suku. Para pejabat negara yang tidak amanah maka langsung dipecat tanpa pandang bulu. Sehingga kesatalibilan politik dalam negeri pada saat itu sangat mapan. Setelah Umar II wafat, khalifah diganti Yazid II bin Abdul-Malik.
9. Yazid II bin Abdul-Malik (102-106 H/720-724 M)
Pada masa ini keadaan negara kembali kacau, Yazid II tidak mempunyai kewibawaan dan kebijakan yang dapat merendam konflik antar suku, ras dan golongan pada saat itu. Sedangkan gerakan Abbasiah sudah ada dimana-mana. Menyebabkan dinasti Umayah diambang pintu kehancuran,. Sebelum Yazid II wafat telah ditetapkan saudaranya sebagai pengganti khalifah selanjutnya, yaitu Hisyam bin Abdul-Malik.
10. Hisyam bin Abdul-Malik (106-126 H/724-743 M)
Ketika Hisyam bin Abdul-Malik menjabat sebagai khalifah keadaa negara bertambah kacau. bahkan kaamanaan dan ketenangan pada saat itu tidak ada sama sekali. Akan ia sebagai penguasa umayah terahir masih bisa menghidupkan kembali suasana kemanan dan ketenangan dalam negara. Jadi Hisyamlah yang khalifah umayah yang terbaik pasca Yazid II.
Masa pemerintahannya yang panjang merupakan pemerintahan yang berhasil, dan memperlihatkan lahirnya kembali berbagai perbaikan yang pernah dirintis oleh pendahulunya Umar bin Abdul-Aziz . Pergantian pejabat negara yang korup atau KKN dan tidak dapat melaksanakan tugas negara dengan baik di resafel di front timur maupun front barat sehingga kesetabilan negara kembali pulih. Dengan wafatnya Hisyam bin Abdul Malik maka masa keemasan dinasti Umayah berahir pula. Setelat itu khalifah diganti oleh Al-Walid II bin Yazid II.
11. Al-Walid II bin Yazid II (126-127 H/743-744 M)
Dengan wafatnya Hisam, (743 M)¬¬ Al-Walid II bin Azit II menjadi khalifah secara mulus, maka masa keemasab dinasti Umayahpun berahir. Ia memecat para pejabat dan kepala daerah semasa yang diangkat oleh pendahulunya dan diganti dengan kemauannya dan pilihannya sendiri. Meyebabkan negara yang ditinggal oleh pendahulunya dalam keadaan aman, menjadi serba kacau. Al-Walid berusaha mengankat dua putranya yang masih baligh menjadi putra mahkota, menjadi huru-hara dan tidak aman. Maka dalam kondisi ini para bangsawan Umyah turut campur tangan dan mengankat Yazid III, cucu men-diang khalifah Abdul al-Malik menjadi khalifah dinasti UmayahXII.
12. Yazid III bin Yazid II (127 H/744 M)
Yazid bin Walid bin Abdulmalik atau Yazid III (701 - 744) naik tahta hanya selama 6 bulan sebelum meninggal . Pada masa ini keadaan negara tambah kacau. Yaitu dengan pola pikir Yazid III yang tidak pada takdir buta yakni nasip manusia ditentukan oleh Allah, dan dalam hal ini mendapat tantangan besar dari ulama’ ortodoks. Kecemburuan sosial antara suku Yaman dan Mudhar, yang mana Yazid III pengankatannya berasal dari suku Yaman. Gerakan dinasti Abbasiyah mulai dilakukan dengan cara terang-terangan, monggoyahkan kedaulatan dinasti Umayah. Setalah Yazid III jatuh sakit, maka kaum kerabatnya mengankat saudaranya sabagai penganti.
13. Ibrahim bin Al-Walid (127 H/744 M)
Sebenarnya dalam masa pemerintahan Ibrahim bin Al-Walid berlangsung tidak lama. Sehingga diantara para sejarawan ada yang tidak mengakui akan Ibrahim sebagai khalifah dinasti Umayah. Karana tidak pernah diadakan pengokohan secara terbuka kapada rakyat pada masa itu. Akan tetapi dalam sumber lain, Pada masa pemerintahan Khalifah Ibrahim bin al-Walid, telah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini mengakibatkan lahirnya golongan Mutakalimin, seperti Mu'tazilah, Jabariah, Ahlus Sunnah, dsb.
Setelah mendengar Yazid III marwan langsung menyeran tentara Ibrahim di Lebaha yang terletak diatara Damaskus dan Balbek. Ia berhasil mengalahkan tentara Ibrahim, maka Marwan yang semula sebagai gubernur Harran dinobatkan sebagai khalifah terahir pada masa dinasti Umayah.
14. Marwan II bin Muhammd (memerintah di Haram, Jazira), 127-133 H/744-750 M) Awal Runtuhnya Dinasti Umayah
Pada masa Marwan kaadaan negara serba sulit, dimana perang saurada terjadi dimana-mana, dan konflik di internal istana tidak bisa dielakkan. Ia menghadapi tantangan dari berbagai pihak, diantaranya dari kaum pemberontak di Palestina. Selain gencarnya gerakan Abbasiah. Pada saat bersamaan muncul ibnu Muawiyah, cicit dari Imam Ja’far (pernah menjadi syahid dalam peperangan di Muta saman Nabi Saw.). banyak pengikut Ibn Muawiyah yang mengakuinya sebagai khalifah, akhirnya dengan susah payah Khalifah Marwan mengalahkannya (744M).
Akan tetapi konflik kembali muncul dari orang-orang Persia dan Turki yang hubungan mereka mimang kurang harmonis, akan tetapi ketidak harmonisan itu memuncak ketika Marwan mendeklarasikannya sebagai khalifah dinasti Umayah yang ke XIV. Maka di timur Abu Muslim Khurasani sudah mengumumkan atas nama khlifah Abbasiah pada 747 M. yang menggoyahkan posisi Marwan II, akhirnya Marwan II harus menghadapi satuan tentara Abbasiah yang di dalamnya terdapat orang Syi’ah, Khawarij, dan kelompok-kelomppk serta suku-suku yang lain termasuk Muwali dari Afrika utara yang selama ini disingkirkan oleh khalifah dinasti Umayah. Mereka mulai gencar dan berda digarda depan yang memihak kepada Abbasiah berdama Mawali Persia melawan tentara Marwan II.
E. Masa Keruntuhan Dinasti Umayah
Dinasti Umayah berkuasa selama kurang 90 tahun, selama itu dinasti Umayah mengalami berbagai kemajuan dan kehancuran pada saat itu. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa awal kejayaan dinasti Umayah adalah pada masa Yazid I bin Muawiyah, (61-65 H/680-683 M), meskipun pada sebelumnya sudah dilakukan berbagai macam usaha dalam rangka memajukan dinasti Umyah itu sendiri oleh khalifah pertama Muawiyah ibn Abi Sufyan (40-60/661-680 M). diabawan ini beberapa faktor yang meyebabkan hancurnya dinasti Umayah:
1. Pertentangan dan perlawanan dari kaum Khawarij.
2. Pertentangan dari Zubair yang diteruskan putranya, sehingga mengakibatkan Yazid bin Muawiyah meninggal da tahun 683 M.
3. Pertentangan keras dari golongan si’ah. Si’ah adalah golongan yang setia kapada Ali bin Abi Thalib, khususnya ketika menghadapi tahkim dengan Muawiah. Golongan ini sejak awa menantang Muawiah.
4. Pertentangan tradisioal antara suku Arab Utara dengan suku Arab Utara berpengaruh terhadap ketentraman pemerintahan bani Umayah.
5. Sistem pemerintahan yang munarkhi, dimana pemerintahan mutlak dilakukan secara turun temurun.
6. Tidak adanya aturan yang jelas tentang penggantian khalifah, apakah dari putra atau saudaranya.
7. Hidup mewah dan bermegah-megahan di dalam istana, sehingga mempengaruhi mental putra mahkota yang tidak siap menghadapi permasalaha yang ada dalam negara.
8. Dinasti Umayah terlalu fanatik terhadap bangsa Arab, sehingga golongan non Arab merasa dirugikan.
9. Munculnya berbagai golongan di dalam dinasti Umayah.
10. Munculnya golongan baru dari bani Quraisy, yaitu bani Hasyim yang diplopori oleh Abu Al-Abbas bin Abdul Muthalib yang kemudian bekerjasama dengan Syi’ah menyerang Umayah.
Dinasti Umayah I terdiri dari i4 kahlifah yang dari masing-masing khalifah cukup berfareasi tantangan yang dihadapi, baik itu datangnya dari dalam negeri maupun dari luar negara. Yang sangat besar pengaruhnya adalah ketika adanya konflik di internal istana atau pun pemerintahan pada saat itu. Sehingga kadang akalanya situasi yang demikian menjadi kesempatan bagi mereka yang memang menginginkan kehancuran dinasti Umyah itu sendiri.
Dari awal sampai akhir pemerintahan dinasti Umayah menganut sistem munarkhi. Sehingga hal itu yang mendapat sorotan utama dari kalangan rakyat. Dan lembaga-lembaga kenegaraan yang dibangun seperti Dewan Syura dan majlis Syura hanya dijadikan sebagai tempat konsultasi tanpa adanya wewenang dalam rangka memperjuangkan hak-hak rakyat.

HADITS PADA PREODE PERTAMA ( Masa Nabi Saw.)

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmatNya kapada kita sehingga kita dapat melaksanakan aktifitas dengan baik. Amin..
Sholawat serta salam Allah semuga tetap terlimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. yang telah berjuang keras untuk menyelamatkan kita dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan yakni dengan adanya agama Islam.
Selanjutnya, makalah ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Al-Hadits semester satu jurusan Aqidah dan Filsafat Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga yogyakarta tahun akademik 2010-2011. Dengan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampuh,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, yang telah setia membimbing kami dan memberikan kami akan nilai-nilai pendidikan itu sendiri sehingga kami paham

DAFTAR ISI
1. Daftar isi I
2. Bab I
A. Latar Belakang 1
B. Rumusah Masalah 1
C. Tujuan 2
D. Bab II
E. Definisi 5
F. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam 6
3. Bab III
A. Sikap Nabi Muhammad 7
B. Cara para sahabat mendapatkan Hadits 8
C. Larangan menulis Hadits 10
4. Bab III
Kesimpulan 14




BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Sangat fundament sekali bagi ummad Islam untuk mengetahuinya dan memahaminya. Seatu hal keniscayaan bagi ummad Islam jika sampai merasa asing dengan hadis itu sendiri. Karena Al-qur’an sebagai pedoman sentral itu perlu adanya penjelasan yang biasanya itu biasanya terdapat dalam hadis itu sendiri.
Hadis yang merupakan hasil pengamatan dari para sahabat terhadap nabi Muhammad pada saat itu perlu adanya semacam penelitian baik itu dilihat dari sejarahnya maupun dari hadis itu sendiri. Dari segi sejarah sudah jelas bahwa hadis pada masa Rasullah itu kurang mendapat perhatian. Karena Nabi sendiri khawatir akan bercampur adukan dengan Al-Qur’an yang dihafalkan oleh sahabatnya. Sehingga beliau tidak memerintahkan penulisan hadis itu sendiri. Sedengkan kajian hadis yang kedua bisa dilakungan dengan menilai kebenaran hadis itu sendiri (matannya atau pun perawinya).
Maka dari itu, perlu kita ketahui eksistensi hadis pada masa Rasulullah sehingga hadis tetap pada saat ini dan menjadi sumber hukum Islam yang kedua. Karena yang pertama sudah jelas bahwa hadis merupakan hasil pengamatan para shahabat terhadap Nabi baik itu dilihat dari tingkahlaku, kebiasaan, teguran serta jawaban Nabi terhadap permasalah atau pertanyaan yang diajukan oleh para shahabatnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam pembahasan hadis pada preode pertama atau pada masa Rasullah ini yang menjadi titik perhatian kami adalah sebagai mana berikut:
1. Bagaimana keadaan hadits itu sendiri pada masah Nabi masih hidup?
2. Bagaimana respon Nabi dan para Shahabat pada saat itu?
3. Dan bagaimana cara shahabat mendapatkan hadis dari Rasul?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Tujuan pertama dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir materi hadits semester satu jurusan Aqidah dan Filsafat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Tujuan yang kedua adalah bagaimana makalah ini mampu memberikan kontribusi keilmuan bagi pembaca. Maka dari itu kritik yang konstruktif panulis selalu harapkan demi kesempuraan makalah ini.

BAB II
A. DEFINISI
Sebelum kita mengkaji hadis itu sendiri pada preode pertama yaitu pada masa Rasulullah, terlebih dahulu kita akan mengartiak hadits itu sendiri baik secara bahasa maupun secara istilah.
1. Hadits menurut bahasa
Hadits menurut bahasa mempunyai banyak arti:
a. Jadid lawan qadim yang berarti baru. Jama’nya hidats, hudatsa dan huduts.
b. Qarib yang berari dekat; yang belum lama lagi terjadi seperti dalam perkataan “Haditsul Ahdi Bil’l-Islami” = orang baru memeluk agama islam, jama’nya : Hidats, Hudatsa, dan huduts.
c. Khabar atau warita, yakni: ma yutahadatsu bihi wa yuqalu”= sesuata yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama maknanya dangan “haditsa” dari makna inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah”.
Dari pengertian hadits secara bahasa diatas dapat diambil kesimpulah bahwa hadits disini merupakan prodak manusia yang itu dikatakan baharu. Dan berupa kabar bagi yang mana itu hasil intraksi para sahabat dengan Rasullah Saw. Maka dengan demikian maka hadits disini bermacam-macam. Ada yang shahih dan dan ada yang Da’if, artinya kabenarannya masih dipertanyakan.
2. Hadits menurut istilah
a. Sebagian ulama seperti Ath Thibi berpendapat bahwa: hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir belia: melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perbuatan dan taqrir tabi’in.
b. Menurut ahli Ushul Hadits Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan hukum.
Pengeritian hadits sebagaimana telah di bahas diatas dengan dua poin yang telah ada yang pertama dari sebagian Ulama’ dan menurut ahli Ushul hadits itu sendiri. Yang mana dari pendapat diatas dapat dibedakan kecendrungan dari masing-masing. Yang pertama dari sebagian Ulama’ dengan jelas mengatakan bahwa hadist meliputi semua yang ada pada diri Nabi itu sendiri yang telah disampaikan oleh para sahabat. Sedangkan untuk ahli Ushul Hadits yang dikatakan hadits itu sendiri adalah sebatas pada hukum itu sendiri. Jadi yang dinamakan hadits itu sendiri hanya terbatas pada persoalan hukum saja.
Dua kecendrungan dari dua definisi hadits secara istilah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits itu sendiri adalah
B. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Sumber primer hukum islam ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dua tersebut akan didapat sumber-sumeber hukum dalam islam baik yang bersifat vertikal dan horozontal. Karena dalam islam sebagai intsitusi dan juga sebagai agama tuuntunan bagi ummad islam tentunya yang diatur bukan lantas hubungan makhluq dengan sang kholiq akan tetapi diberbagai aspek islam sebenarnya telah membuat rambu-rambu untuk menuntuk manusia itu sendiri agar selamat di dunia dan akhirat.
Hadits hadir dalam hukum islam tentunya dalam rangka meperjelas akan hukum-hukum islam itu sendiri terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan redaksi Al-Qur’an yang cukup universal maka perlu adanya penjelasan yang lebih spesifik dan hal itu ada pada hadits itu sendiri. Kerena hadits seperti yang telah dibahas diawal adalah pendiskripsian para sahabat terhadap Rasulullah itu sendiri. Sebagai rasul yang bersifat Al-Qur’ani maka perlu diketahui oleh kaum muslim pada masa selanjutnya.

BAB III
Keadaan Objektif Hadits Pada Preode Petama
A. Sikap Nabi Muhammad Saw.
Setelah kita ketahui apa hadits itu sendiri, pada bagian ini kita akan mengkaji kadaan dan perhatian rasul dan para sahabat terhadap hadits itu sendiri pada pada preode pertama. Karena pada saat itu ada dua pokok sumber ajaran agama Islam yang akan diterima oleh para sahabat khususnya, dan ummad Islma pada umumnya. Yaitu Hadis senantiasa mengiringi turunnya Al-Qur’an sebagai penjelas di dalamnya. Baik itu dilakukan secara langsung oleh Nabi, maupun setelahnya kemuadian. Misalkan Nabi Muhammad kita kenal dengan orang yang Qur’ani dalam artian dalam perpuatan dan tingkah laku dirinya tersebut mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an.
Maka dari itu pada masa ini hadits berkembang secara alamiah. Karena semua sumber informasi didapat oleh hasil diskripsi sehari-hari atau perkataan dan pebuatan Rasul pada saat itu. Maka dari itu hadits bisa diperoleh oleh para sahabat diberbagai tempat selagi mereka bisa menemui rasul itu sendiri, baik dirumah atau pun masjid, pasar dan tempat-tempat lainnya.
Sebuah sikap kerifan Rasul adalah tidak pernah mencoba menciptakan gep antara dirinya dengan para sahabat. Nabi pada saat itu mimang memperbanyak meluangkan waktunya untuk bincang-bincang dan para sahabat, dan mereka memebentuk lingkarang mengelilingi Nabi dan menyimak apa yang disampaikan oleh Nabi itu sendiri. Bukan hanya itu, dari seking kedekatan Nabi dengan para sahabatnya adalah Nabi menjadi tempat konsultasi permasalah pribadi para sahabat, baik itu berkenaan dengan keluarga dan dan lain sebagainya, tapi dengan sikap kearifan Rasul tersebtu dengan senang hati memberikan jawaban terhadap masalah yang disampaikan oleh para sahabat. Nabi bukanlah seperti raja yang hanya duduk diam di istana atau seperti penguasa yang jauh dari rakyatnya.
B. Cara Para Sahabat Mendapatkan Hadits
Dalam sebuah hadit yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary menerangkan yang artinya:
“akau dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan ansor bertempat di kampung Umaiyah ibn Yazid, sebuah kampung yang jauh dari kota madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku bercerita kapada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari dia mengetuk pintu rumahku dengan keras sertaberkata. “adakah Umar di dalam ?” aku terkejut lalu keluar mendapatinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi suatu keadaan penting. Rasul telah menthalak istri-istrinya, aku berkata: “memang sudah kuduga akan terjadi peristiwa ini” . Sesudah saya bersembahyang subuh, sayapun berkemas dan pergi. Sesampai di kota, saya masuk kerumah Hafshah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya: “apakah engkau telah dithalak Rasul?”. Hafshah menjawab:” saya tak tau” sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi. Sambil berdiri saya berkata: ”apakah anda telah menthalak isteriisteri anda? ”. Nabi menjawab: ”tidak”. Dikala itu sayapun mengucapkan: :Allahu Akbar” .
Dari hadits di atas maka kita dapat mendiskripsikan betama tingginya antosiasme para sahabat untuk mendapatkan hadits itu sendiri. Sehingga mereka tidak mau melepaskan diri dari untuk selalu memantau akan keadaan Rasul dan dijadikan rujukan dalam melakukan aktifitas mereka.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Rasul itu sendiri adalah orang yang diperlihara oleh Allah akan kesemuanya, sehingga tidak ada kekhawatiran akan ada sesuatu yang dilakukan oleh beliau kecuali yang sesuai dengan hukum Islam itu sendiri atau mencerminkan nilai-nilai Qur’ani. Sebagaimana firman
“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".". (Qs.Ali Imron:32)
Sedangkan dalam ayat yang lain desebutkan bahawa ummad manusia untuk senantiasa bertakwa kapada Rasulnya adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.( QS. An-Nisa:136. 136 )
Dengan demikan para sahabat tidak ada keraguan sedikitpun dengan apa yang ada pada Rasul, dan mereka mengangap bahwa beliaulah adalah orang yang mendapat keistimiwaan dan pameliharaan langsung dari Allah sebagai Rasul untuk di contoh oleh ummatnya.
Kekuatan hafalah mesih menjadi senjata untama para sahabat untuk menjaga hadits. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Lalu menggambarkan lafal dan maknanya itu dalam dzihin mereka. Tidak hanya itu para sahabat melihat apa yang Nabi kerjakan. Dan ada beberapa sahabat yang banyak menerima Hadits dapat diklasifikasikan sebagaimana berikut:
1. Yang mula masuk Islam yang dinamai “as sabiqunal ‘l awwalun”, seperti: Khulafa empat dan Ibn Mas’ud;
2. Yang selalu berada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti Abu Khurairah dan yang mencatat Abdullah ibn Amer ibn Ash;
3. Yang lama hidup sesudah Nabi, dapat menerima Hadits dari sesama sahabat, seperti: Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas
4. Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu: Ummu-hatu’l mu’Minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah
Menurut catatan Adz Dzuhaby, ada 31 orang Shahaby yang banyak meriwayatkan Hadits diantaranya: Aisyah, Ummu Salamah dan Khulafa Rasyidin.
C. Larangan Menulis Hadits
Larangan menulis hadits pada saat itu dilakukan oleh rasul itu sendiri. Salah satu alasannya bahwa Hadits masih dalam proses pembentukan dan pertumbuhan yang yang berlangsung hingga Nabi Saw wafat. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas Rasul menjadi inspirasi dalam hadits itu sendiri. Dan para sahabat pada saat itu dapat memahami dan menjadikan Nabi sebagai tolak ukur dalam beraktifitas sehari-hari. Hadits pada saat itu berjalan secara alamiah seperti apa yang telah di terangkan diatas.
Perhatian penuh yang diberikan oleh Rasul dan para sahabatnya dengan menghafal dan menulisnya. Dan Rasul sendiri secara tegas telah melarang para sahabat untuk menulis selain Al-Qur’an pada saat itu. Rasul sendiri khawatir haditis itu sendiri akan bercapur adukan dengan Al-Qur’an sebagai mana sabdanya:
“janganlah kamu sekalian menulis (apa yang kalian dengar) dariku selain Al-Qur’a. dan barang siapa yang telah menulis selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya! Ceritakan (apa yang kalian dengar) dariku itudan tidak apa-apa. Dan barang siapa membuat kedustaan atas nama saya dengan sengaja maka hendaklah ia bersiap-siap menemapti tempat duduknya dari api neraka” (HR. Muslim, al Damiri dan Ahmad Imam Ahmad dari sahabat Abu Sa’ad al-Khudri)
Dengan demikian dari taks Hadits diatas dapat dipahami bahwa larangan tegas telah disampaikan oleh Nabi. Kerena Nabi itu sendiri maresa khawatir jika hadits nantinya ditulis perhatian sahabat terdapat Al-Quran berkurang, dan catatan-catatan hadits nantinya di takutkan akan bercampur dengan tulisan Al-Qur’an yang memang telah diperintahkan oleh Nabi untuk menulis dan menghafalnya.
Menurut M. Hasbi Ashiddieqy dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits diperkirankan hadits tidak ditulis adalah sebagai mana berikut:
1. Mentadwinkan ucapan-ucapannya, amalan-amalannya, mua’amalah-mu’amalahnya adalah suatu keadaan yang sukar, karena memerlukan ada segolongan yang terus menerus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu, masih dapat dihitung.
Oleh karenannya Al-Qur’an merupakan sumber asasi dari tasyri’ maka beberapa orang penulis itu, dikerahkan tenaganya untuk menulis Al-Qur’an dan Nabi memanggil mereka untuk menuliskan wahyu itu setiap turunnya.
2. Karena orang Arab¬¬ – disebabkan mereka tak pandai menulis, dan membaca tulisan, - kuat berpegang kepada kekuatan hafalah dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya.
3. Karena dikahwatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak disegaja.
Meskipun demikian faktanya, maka bukanlah hadits pada saat itu dikesampingkan dengan sedemikian rupa, akan tetapi perhatian para sahabat terhadap hadits itu sendiri hanya sebatas untuk kebutuhan peribadi. Baik itu ditulis maupun hanya meliahat dan menerima imbawan dari Nabi yang itu semua termasuk kedalah Hadits dan itu menjadi kebutuhan pribadi dan ditulis untuk pribadi para sahabat.
Ada beberapa orang yang mempunyai lambaran tulisan Hadits pada saat itu antara lain adalah, Abdullah ibn Amr ibn Ash yang dikenal dengan nama al-Shahifah al- Shadiqoh. Dinamakan demikian karena dia langsung menulis Hadits secara langsung dari Nabi Saw. sendiri. Sehingga dipandang riwayat yang paling benar. Demikian pula Ali bin Abi Thalib dan Anas ibn Malik, mereka juga mempunyai catatan hadits. Dengan demikian bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul itu sendiri, akan tetapi ada riwayat lain yang menyatakan ijin, bahkan perinta, dari Nabi Saw untuk menulis Hadits.
Dalam penulisan menulis Hadits disini para sahabat ada ketimpangan informasi, yang mana dalam satu riwayat menceritakan bahwa:
“Janganlah kamu sekalian menulis (apa yang kalian dengar) dariku selain Al-Qur’an. Dan barangsiapa yang telah menulis selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya! (Ceritakan apa yang kalian dengar) dariku dan tidak apa-apa. Dan barangsiapa membuat kedustaan atas nama saya dengan sengaja maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya dari api neraka”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“tulislah (apa yang kamu dengar (dariku, karena demi dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenara” (HR. Abu daud, al-Damiri, & Ahmad Imam Ahmad).
Perintah menulis hadits-haditsnya terjadi pada saat peristiwa fathu Makkah. Yaitu Nabi memerintah salah-satu sahabat laki-laki dari yaman untuk menulis pidato atau khotbahnya (tulislah untuk Abu Syab ini)
Dari dua hadits diatas kita dapat pahami bahwa dalam masalah penulisan Hadits pada masa Nabi Saw. ada dua sisi yang berlawanan. Pertama Nabi sendiri melarang menulis Hadits karena bliau khawatir akan terjadi percampuran antara taks Al-qur’an dan Al-Hadits. Yang kedua, dalam hadits yang lain Nabi dengan tegas mengizinkan untuk menulis Hadits. Dalam dua titik permasalahan yang bertentangan ini ulama’ berpendapat sebagai berikut:
Partama dinasakh (dihapus) dengan hadirnya Hadits yang membolehkan akan menulis Hadits itu sendiri. Letak dari permasalahanya dalam Hadits melarang untuk menuis adalah pada kekhawatiran akan bercampur adukan dengan atau dalam rangka menjega kemurnian Al-Qur’an. Maka jika kekhawatiran tersebut diperkirakan tidak ada, maka dengan sendirinya Hadits tersebut terhapus.
Kedua lalarangan menulis Hadits itu dalam rangka memelihara Al-Qur’an akan berrcapurnya dengan Hadits. Yang dimaksud menulisan Hadits disini adalah yang sifatnya resmi. Akan tetapi jika menulis Hadits hanya berdasarkan kepentingan pribadi, maka tidak apa-apa. Dari sini kita dapat pahami bahwa larangan penulisan Hadits itu bersifat umum, sedangkan ijin untuk menulis Hadits hanya diperbolahkan kepada sahabat tertentu saja.


BAB IIV
KESIMPULAN
Hadits pada masa Rasul atau dengan kata lain pada preode pertama mimang kurang mendapat perhatian dari dari Nabi Muhammad Saw. Menurut beliau, ditakutkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Disini lain pada saat itu para sahabat sedikit sekali yang bisa menulis, mereka lebih mengandalkan daya hafalan untuk mengingatnya.
Para sahabat untuk mendapatkan hadits mimang cukup mudah. Yang mana Nabi dapat dijumpai oleh mereka baik itu dipasar di rumah, Masjid atau pun dimana saja. Nabi tidak harus berdiam diri dirumah atau bahkan orang-orang tertentu yang bisa menemui beliau itu tidak berlaku. Bahkan para sahabat meresa sangat dekat dengannya, sehingga meskipun masalah pribadi sahabat dicurhatkan pada Nabi, dan beliaupun selalu menanggapi apa yang mereka sampaikan dan memberi solusinya berdasarkan ajaran agama Islam itu sendiri.
Akan tetapi mengenai tanggapan Nabi sendiri pada penulisan Hadist itu Nabi melarangnya, sedangkan untuk keperluan pribadi beliau mengizinkan. Atau larangan penulisan Hadits itu bersifat umum, sedangkan ijin untuk menulis Hadits khusus kepada sahabat tertentu saja.


DAFTAR PUSTAKA
Ash Shidieqy, M. Hasbi, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits”,(Jakarta: Bulan Bintang, 1954)
Octoberrinsyah, Drs, MA. “Al-Hadits” (Yogyakarta: Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005)
Abdul majid Hasyim al-Hasani, Usul al_Hadits al-Nabawi, kairo: al-Qohirah al-Haditsah li al-talabah
Muhammad’Ajaj al-Khatib Usul Hadits: ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Bairut Dar al Fikr, 1989)

AKULTURASI BUDAYA JAWA HINDU-BUDHA DENGAN ISLAM

Berbicara tentang budaya memang menjadi suatu yang sangat menarik dan tidak akan tuntas. Karena manusia sebagai pelakunya adalah mahluk yang aktif berinteraksi dengan satu sama yang lainnya, atau kita sebut sebagai mahluk social. Sebab manusia itu sendiri tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya interaksi dengan yang lain, disitulah budaya muncul dari interaksi-interaksi yang dilakukan oleh menusia itu sendiri.
Pada pembahasan ini, yang dimaksud budaya masyarakat adalah budaya masyarakat Jawa. Baik itu dari buah hasil pemikiaran ataupun interaksi sehari-hari dan nilai keagamaan yang ada dimasyarakat jawa itu sendiri. Menurut sifatnya budaya bisa dibagi menjadi dua: pertama budaya sebagai kata kerja, yaitu segala aktivitas yang mengarah kepada kerja inovatif dan kreatif yangmenjurus sebagai suatu karya. Kedua budaya sebagai kata benda yang mengandung arti pasif hasil budaya dari cipta rasa dan karsa
Maka dari itu yang akan dilihat dari kebudayaan masyarakat jawa disini adalah hasil interaksi budaya jawa itu sendiri dengan agama Islam. Yang mana dalam hal ini Islam di tempatkan sebagai konstitusi bukan sebagai sistem. Dalam aritian bukanlah islam yang telah membrikan kewajiban kepada pemeluknya seperti sholat, puasa, zakat dan lain sebagainya.
Kita ketahui bersama bahwa penyebaran agama Islam di indonesia ada perbedaan pendapat, sebagai mana yang diungkapkan oleh Wertheim dan Pijnapel asal Berlanda, mereka mengatakan bahwa penyebaran agama Islam di tanah Jawa yaitu dengan melalui perdagangan. bahwa Islam tersebarnya Islam di Jawa dilakukan oleh para da’i sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Sedang kan menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘ zaman kewalen” (zaman wali).
Namun yang akan dibahas pada makalah ini lebih menekankan pada perjalan pnyebaran Agama Islam dena konsep akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Dan lebih memilih peranan wali songo karena mereka letak jejak pergerakannya itu nampak. Dan cerita-cerita mereka masih mudah kita jumpai dimana-mana. Menurut penulis selain pembahasannya akan lebih mudah dan kita tidak merasa asing dengan nama-mana mereka sehingga akan lebih memudahkan pembaca untuk memahamiya.
Menurut letak giografisnya, mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Sebelum masuknya Islam di Jawa ada Animisme dan Dinamisme, dua pemahan tersebut sangat pengental dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pemahaman inilah yang masih kerap diperaktekkan dalam kehidupan masyarakat pada desawarsa ini. Terutama bagi masyarakat kalangan bawah (petani dll) atu mereka bereda di daerah pedalaman atau letak giografisnya itu termasuk kata gori pedesaan.
Penyebaran Islam yang nampak pada saat itu adalah ketika berdirinya kerajaan demak dan hancurnya kerajaan jawa Hindu (Majapahit) yaitu pada 16 M. dan pada saat itu para wali mulai mempunyai kekuatan yang tidak hanya dari kalangan masyarakat bawah, akan tetapi dari kaum priyai juga menjadi metra mereka dalam menyeberkan ajaran Agama Islma itu sendiri di tanah jawa.
Perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus pada budaya lapis atas. Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang akhirnya melahirkan komonitas baru yang berpusat di Pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan ( equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsepa stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu itu sudah tidak menarik lagi dikalangan masyarakat. Dengan datangnya Islam menawarkan konsep persamaan dan kebersamaan itu telah memikat hari masyarakat.
Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi ( counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “ kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “ kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam
Kita kembali pada sejarah bahwa pada masa wali songo dalam melakukan dakwah islamiyah di tanah jawa memang mereka bukan langsung merubah pola kebudayaan yang sudah ada dengan sistem kebudayaan baru (islam). Akan tetapi mereka melakukan akulturasi dalam rangka memudahkan penerimaan ajaran agama Islam itu sendiri.
Menurut dalam Serat Babat bahwa Sunan Kalijaga talah melakukan Islamisasi seni Jawa Wayang yaitu dengan masuknya jimat layang kalimasadaI (kalimat syahadat) yang dijadikan sebagai pusaka kerajaan Amarta (Pandawa). Jimat itu sudah barang tentu merupakan pemikiran Pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari kebudayaan kraton.
Rupanya penyebaran agama Islam di Jawa bersamaan dengan kekacauan dalam Kerajaan Majapahit, yang menyebabkan melemahnya dan akhirnya runtuh sama sekali. Pada masa itu yang zaman sekarang disebut kaum intelek jawa makin banyak yang masuk Agama Islam: entah karena terbujuk atau karena terpaksa mencari kehidupan, itu bukan soal yang penting. Yang demikian itu menyebabkan intelek berkumpul di dalam kalangan Agama Islam dan lama kelamaan menjadi pusat kekuasaan dan akhirnya Islam jadi pusat kebudayaan Jawa-Islam.
Setelah demikian keadaanya maka timbullah kitab-kitab bahasa Jawa yang berisi hal-hal keislaman.

Dari uraian tersebut, maka Islam itu sendiri mulai dianut oleh kalangan priyai atau para penggawa kerajaan baik itu di istana maupun di luar istana, sehingga hal ini mampu mempercepat akan pensyi’aran Agama Islam itu sendiri. Dan mulai tumbuh proses akulturasi kebudayaan istana yang bersifat Hindu-Jawa dengan kebudayaan Pesantren. Dan ternyata dalam kontak budaya ini sebagaimana pada zaman Hindu-Budha para sastrawan dan budayawan jawayang bertindak aktif. Mereka mempelajari dan mentranfer unsur-unsur kebudayaan pesantren untuk memperkaya dan meningkatkan warisan budaya istana.
Islam yang dinyatakan masuk ke tanah Jawa dan mengalami perkembangan yaitu pada 16 M. dan mengalami perkembangan pesat yaitu ketika runtuhnya kerajaan Hindu-Budha kerajaan majapahit dan berdirinya kerajaan demak yang dikenal dengan masa peralihan dari pera wali. Disinilah mereka banyak mendapat pengikut dari kaum priyai sehingga mempunyai kekuatan di dalam kerajaan itu sendiri, dan banyak mempengaruhi masyrakat sehingga masuk Islam.
Kesuksesan penyebaran agama islam itu sendiri di Jawa tidak terlepas dari peranan para wali pada saat itu. dengan melakukan proses akuturasi budaya Hindu-Budhaisme dengan islam sehingga langkah mereka terkesan halus dalam pendekatan terhadap masyarakat. Yaitu dimulai dengan proses islamisasi Hindu-Budhaisme dan menghasilkan suatu istilah dengan Islam-Kejawen. Wallahu A’lam…….