ZOOM

ZOOM
gaya

Selasa, 01 Maret 2011

AKULTURASI BUDAYA JAWA HINDU-BUDHA DENGAN ISLAM

Berbicara tentang budaya memang menjadi suatu yang sangat menarik dan tidak akan tuntas. Karena manusia sebagai pelakunya adalah mahluk yang aktif berinteraksi dengan satu sama yang lainnya, atau kita sebut sebagai mahluk social. Sebab manusia itu sendiri tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya interaksi dengan yang lain, disitulah budaya muncul dari interaksi-interaksi yang dilakukan oleh menusia itu sendiri.
Pada pembahasan ini, yang dimaksud budaya masyarakat adalah budaya masyarakat Jawa. Baik itu dari buah hasil pemikiaran ataupun interaksi sehari-hari dan nilai keagamaan yang ada dimasyarakat jawa itu sendiri. Menurut sifatnya budaya bisa dibagi menjadi dua: pertama budaya sebagai kata kerja, yaitu segala aktivitas yang mengarah kepada kerja inovatif dan kreatif yangmenjurus sebagai suatu karya. Kedua budaya sebagai kata benda yang mengandung arti pasif hasil budaya dari cipta rasa dan karsa
Maka dari itu yang akan dilihat dari kebudayaan masyarakat jawa disini adalah hasil interaksi budaya jawa itu sendiri dengan agama Islam. Yang mana dalam hal ini Islam di tempatkan sebagai konstitusi bukan sebagai sistem. Dalam aritian bukanlah islam yang telah membrikan kewajiban kepada pemeluknya seperti sholat, puasa, zakat dan lain sebagainya.
Kita ketahui bersama bahwa penyebaran agama Islam di indonesia ada perbedaan pendapat, sebagai mana yang diungkapkan oleh Wertheim dan Pijnapel asal Berlanda, mereka mengatakan bahwa penyebaran agama Islam di tanah Jawa yaitu dengan melalui perdagangan. bahwa Islam tersebarnya Islam di Jawa dilakukan oleh para da’i sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Sedang kan menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘ zaman kewalen” (zaman wali).
Namun yang akan dibahas pada makalah ini lebih menekankan pada perjalan pnyebaran Agama Islam dena konsep akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Dan lebih memilih peranan wali songo karena mereka letak jejak pergerakannya itu nampak. Dan cerita-cerita mereka masih mudah kita jumpai dimana-mana. Menurut penulis selain pembahasannya akan lebih mudah dan kita tidak merasa asing dengan nama-mana mereka sehingga akan lebih memudahkan pembaca untuk memahamiya.
Menurut letak giografisnya, mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Sebelum masuknya Islam di Jawa ada Animisme dan Dinamisme, dua pemahan tersebut sangat pengental dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pemahaman inilah yang masih kerap diperaktekkan dalam kehidupan masyarakat pada desawarsa ini. Terutama bagi masyarakat kalangan bawah (petani dll) atu mereka bereda di daerah pedalaman atau letak giografisnya itu termasuk kata gori pedesaan.
Penyebaran Islam yang nampak pada saat itu adalah ketika berdirinya kerajaan demak dan hancurnya kerajaan jawa Hindu (Majapahit) yaitu pada 16 M. dan pada saat itu para wali mulai mempunyai kekuatan yang tidak hanya dari kalangan masyarakat bawah, akan tetapi dari kaum priyai juga menjadi metra mereka dalam menyeberkan ajaran Agama Islma itu sendiri di tanah jawa.
Perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus pada budaya lapis atas. Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang akhirnya melahirkan komonitas baru yang berpusat di Pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan ( equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsepa stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu itu sudah tidak menarik lagi dikalangan masyarakat. Dengan datangnya Islam menawarkan konsep persamaan dan kebersamaan itu telah memikat hari masyarakat.
Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi ( counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “ kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “ kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam
Kita kembali pada sejarah bahwa pada masa wali songo dalam melakukan dakwah islamiyah di tanah jawa memang mereka bukan langsung merubah pola kebudayaan yang sudah ada dengan sistem kebudayaan baru (islam). Akan tetapi mereka melakukan akulturasi dalam rangka memudahkan penerimaan ajaran agama Islam itu sendiri.
Menurut dalam Serat Babat bahwa Sunan Kalijaga talah melakukan Islamisasi seni Jawa Wayang yaitu dengan masuknya jimat layang kalimasadaI (kalimat syahadat) yang dijadikan sebagai pusaka kerajaan Amarta (Pandawa). Jimat itu sudah barang tentu merupakan pemikiran Pujangga Jawa dalam memberikan legalitas syahadat pada pewayangan yang jelas-jelas menjadi inti dari kebudayaan kraton.
Rupanya penyebaran agama Islam di Jawa bersamaan dengan kekacauan dalam Kerajaan Majapahit, yang menyebabkan melemahnya dan akhirnya runtuh sama sekali. Pada masa itu yang zaman sekarang disebut kaum intelek jawa makin banyak yang masuk Agama Islam: entah karena terbujuk atau karena terpaksa mencari kehidupan, itu bukan soal yang penting. Yang demikian itu menyebabkan intelek berkumpul di dalam kalangan Agama Islam dan lama kelamaan menjadi pusat kekuasaan dan akhirnya Islam jadi pusat kebudayaan Jawa-Islam.
Setelah demikian keadaanya maka timbullah kitab-kitab bahasa Jawa yang berisi hal-hal keislaman.

Dari uraian tersebut, maka Islam itu sendiri mulai dianut oleh kalangan priyai atau para penggawa kerajaan baik itu di istana maupun di luar istana, sehingga hal ini mampu mempercepat akan pensyi’aran Agama Islam itu sendiri. Dan mulai tumbuh proses akulturasi kebudayaan istana yang bersifat Hindu-Jawa dengan kebudayaan Pesantren. Dan ternyata dalam kontak budaya ini sebagaimana pada zaman Hindu-Budha para sastrawan dan budayawan jawayang bertindak aktif. Mereka mempelajari dan mentranfer unsur-unsur kebudayaan pesantren untuk memperkaya dan meningkatkan warisan budaya istana.
Islam yang dinyatakan masuk ke tanah Jawa dan mengalami perkembangan yaitu pada 16 M. dan mengalami perkembangan pesat yaitu ketika runtuhnya kerajaan Hindu-Budha kerajaan majapahit dan berdirinya kerajaan demak yang dikenal dengan masa peralihan dari pera wali. Disinilah mereka banyak mendapat pengikut dari kaum priyai sehingga mempunyai kekuatan di dalam kerajaan itu sendiri, dan banyak mempengaruhi masyrakat sehingga masuk Islam.
Kesuksesan penyebaran agama islam itu sendiri di Jawa tidak terlepas dari peranan para wali pada saat itu. dengan melakukan proses akuturasi budaya Hindu-Budhaisme dengan islam sehingga langkah mereka terkesan halus dalam pendekatan terhadap masyarakat. Yaitu dimulai dengan proses islamisasi Hindu-Budhaisme dan menghasilkan suatu istilah dengan Islam-Kejawen. Wallahu A’lam…….

0 komentar:

Posting Komentar