ZOOM

ZOOM
gaya

Selasa, 01 Maret 2011

HADITS PADA PREODE PERTAMA ( Masa Nabi Saw.)

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmatNya kapada kita sehingga kita dapat melaksanakan aktifitas dengan baik. Amin..
Sholawat serta salam Allah semuga tetap terlimpahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. yang telah berjuang keras untuk menyelamatkan kita dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan yakni dengan adanya agama Islam.
Selanjutnya, makalah ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Al-Hadits semester satu jurusan Aqidah dan Filsafat Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga yogyakarta tahun akademik 2010-2011. Dengan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampuh,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, yang telah setia membimbing kami dan memberikan kami akan nilai-nilai pendidikan itu sendiri sehingga kami paham

DAFTAR ISI
1. Daftar isi I
2. Bab I
A. Latar Belakang 1
B. Rumusah Masalah 1
C. Tujuan 2
D. Bab II
E. Definisi 5
F. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam 6
3. Bab III
A. Sikap Nabi Muhammad 7
B. Cara para sahabat mendapatkan Hadits 8
C. Larangan menulis Hadits 10
4. Bab III
Kesimpulan 14




BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Sangat fundament sekali bagi ummad Islam untuk mengetahuinya dan memahaminya. Seatu hal keniscayaan bagi ummad Islam jika sampai merasa asing dengan hadis itu sendiri. Karena Al-qur’an sebagai pedoman sentral itu perlu adanya penjelasan yang biasanya itu biasanya terdapat dalam hadis itu sendiri.
Hadis yang merupakan hasil pengamatan dari para sahabat terhadap nabi Muhammad pada saat itu perlu adanya semacam penelitian baik itu dilihat dari sejarahnya maupun dari hadis itu sendiri. Dari segi sejarah sudah jelas bahwa hadis pada masa Rasullah itu kurang mendapat perhatian. Karena Nabi sendiri khawatir akan bercampur adukan dengan Al-Qur’an yang dihafalkan oleh sahabatnya. Sehingga beliau tidak memerintahkan penulisan hadis itu sendiri. Sedengkan kajian hadis yang kedua bisa dilakungan dengan menilai kebenaran hadis itu sendiri (matannya atau pun perawinya).
Maka dari itu, perlu kita ketahui eksistensi hadis pada masa Rasulullah sehingga hadis tetap pada saat ini dan menjadi sumber hukum Islam yang kedua. Karena yang pertama sudah jelas bahwa hadis merupakan hasil pengamatan para shahabat terhadap Nabi baik itu dilihat dari tingkahlaku, kebiasaan, teguran serta jawaban Nabi terhadap permasalah atau pertanyaan yang diajukan oleh para shahabatnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam pembahasan hadis pada preode pertama atau pada masa Rasullah ini yang menjadi titik perhatian kami adalah sebagai mana berikut:
1. Bagaimana keadaan hadits itu sendiri pada masah Nabi masih hidup?
2. Bagaimana respon Nabi dan para Shahabat pada saat itu?
3. Dan bagaimana cara shahabat mendapatkan hadis dari Rasul?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Tujuan pertama dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir materi hadits semester satu jurusan Aqidah dan Filsafat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Tujuan yang kedua adalah bagaimana makalah ini mampu memberikan kontribusi keilmuan bagi pembaca. Maka dari itu kritik yang konstruktif panulis selalu harapkan demi kesempuraan makalah ini.

BAB II
A. DEFINISI
Sebelum kita mengkaji hadis itu sendiri pada preode pertama yaitu pada masa Rasulullah, terlebih dahulu kita akan mengartiak hadits itu sendiri baik secara bahasa maupun secara istilah.
1. Hadits menurut bahasa
Hadits menurut bahasa mempunyai banyak arti:
a. Jadid lawan qadim yang berarti baru. Jama’nya hidats, hudatsa dan huduts.
b. Qarib yang berari dekat; yang belum lama lagi terjadi seperti dalam perkataan “Haditsul Ahdi Bil’l-Islami” = orang baru memeluk agama islam, jama’nya : Hidats, Hudatsa, dan huduts.
c. Khabar atau warita, yakni: ma yutahadatsu bihi wa yuqalu”= sesuata yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama maknanya dangan “haditsa” dari makna inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah”.
Dari pengertian hadits secara bahasa diatas dapat diambil kesimpulah bahwa hadits disini merupakan prodak manusia yang itu dikatakan baharu. Dan berupa kabar bagi yang mana itu hasil intraksi para sahabat dengan Rasullah Saw. Maka dengan demikian maka hadits disini bermacam-macam. Ada yang shahih dan dan ada yang Da’if, artinya kabenarannya masih dipertanyakan.
2. Hadits menurut istilah
a. Sebagian ulama seperti Ath Thibi berpendapat bahwa: hadits itu melengkapi sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir belia: melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perbuatan dan taqrir tabi’in.
b. Menurut ahli Ushul Hadits Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan hukum.
Pengeritian hadits sebagaimana telah di bahas diatas dengan dua poin yang telah ada yang pertama dari sebagian Ulama’ dan menurut ahli Ushul hadits itu sendiri. Yang mana dari pendapat diatas dapat dibedakan kecendrungan dari masing-masing. Yang pertama dari sebagian Ulama’ dengan jelas mengatakan bahwa hadist meliputi semua yang ada pada diri Nabi itu sendiri yang telah disampaikan oleh para sahabat. Sedangkan untuk ahli Ushul Hadits yang dikatakan hadits itu sendiri adalah sebatas pada hukum itu sendiri. Jadi yang dinamakan hadits itu sendiri hanya terbatas pada persoalan hukum saja.
Dua kecendrungan dari dua definisi hadits secara istilah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits itu sendiri adalah
B. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Sumber primer hukum islam ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dua tersebut akan didapat sumber-sumeber hukum dalam islam baik yang bersifat vertikal dan horozontal. Karena dalam islam sebagai intsitusi dan juga sebagai agama tuuntunan bagi ummad islam tentunya yang diatur bukan lantas hubungan makhluq dengan sang kholiq akan tetapi diberbagai aspek islam sebenarnya telah membuat rambu-rambu untuk menuntuk manusia itu sendiri agar selamat di dunia dan akhirat.
Hadits hadir dalam hukum islam tentunya dalam rangka meperjelas akan hukum-hukum islam itu sendiri terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan redaksi Al-Qur’an yang cukup universal maka perlu adanya penjelasan yang lebih spesifik dan hal itu ada pada hadits itu sendiri. Kerena hadits seperti yang telah dibahas diawal adalah pendiskripsian para sahabat terhadap Rasulullah itu sendiri. Sebagai rasul yang bersifat Al-Qur’ani maka perlu diketahui oleh kaum muslim pada masa selanjutnya.

BAB III
Keadaan Objektif Hadits Pada Preode Petama
A. Sikap Nabi Muhammad Saw.
Setelah kita ketahui apa hadits itu sendiri, pada bagian ini kita akan mengkaji kadaan dan perhatian rasul dan para sahabat terhadap hadits itu sendiri pada pada preode pertama. Karena pada saat itu ada dua pokok sumber ajaran agama Islam yang akan diterima oleh para sahabat khususnya, dan ummad Islma pada umumnya. Yaitu Hadis senantiasa mengiringi turunnya Al-Qur’an sebagai penjelas di dalamnya. Baik itu dilakukan secara langsung oleh Nabi, maupun setelahnya kemuadian. Misalkan Nabi Muhammad kita kenal dengan orang yang Qur’ani dalam artian dalam perpuatan dan tingkah laku dirinya tersebut mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an.
Maka dari itu pada masa ini hadits berkembang secara alamiah. Karena semua sumber informasi didapat oleh hasil diskripsi sehari-hari atau perkataan dan pebuatan Rasul pada saat itu. Maka dari itu hadits bisa diperoleh oleh para sahabat diberbagai tempat selagi mereka bisa menemui rasul itu sendiri, baik dirumah atau pun masjid, pasar dan tempat-tempat lainnya.
Sebuah sikap kerifan Rasul adalah tidak pernah mencoba menciptakan gep antara dirinya dengan para sahabat. Nabi pada saat itu mimang memperbanyak meluangkan waktunya untuk bincang-bincang dan para sahabat, dan mereka memebentuk lingkarang mengelilingi Nabi dan menyimak apa yang disampaikan oleh Nabi itu sendiri. Bukan hanya itu, dari seking kedekatan Nabi dengan para sahabatnya adalah Nabi menjadi tempat konsultasi permasalah pribadi para sahabat, baik itu berkenaan dengan keluarga dan dan lain sebagainya, tapi dengan sikap kearifan Rasul tersebtu dengan senang hati memberikan jawaban terhadap masalah yang disampaikan oleh para sahabat. Nabi bukanlah seperti raja yang hanya duduk diam di istana atau seperti penguasa yang jauh dari rakyatnya.
B. Cara Para Sahabat Mendapatkan Hadits
Dalam sebuah hadit yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary menerangkan yang artinya:
“akau dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan ansor bertempat di kampung Umaiyah ibn Yazid, sebuah kampung yang jauh dari kota madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalau hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku bercerita kapada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. kalau dia yang pergi, demikian juga. Pada suatu hari dia mengetuk pintu rumahku dengan keras sertaberkata. “adakah Umar di dalam ?” aku terkejut lalu keluar mendapatinya. Ia menerangkan bahwa telah terjadi suatu keadaan penting. Rasul telah menthalak istri-istrinya, aku berkata: “memang sudah kuduga akan terjadi peristiwa ini” . Sesudah saya bersembahyang subuh, sayapun berkemas dan pergi. Sesampai di kota, saya masuk kerumah Hafshah. Saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya: “apakah engkau telah dithalak Rasul?”. Hafshah menjawab:” saya tak tau” sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi. Sambil berdiri saya berkata: ”apakah anda telah menthalak isteriisteri anda? ”. Nabi menjawab: ”tidak”. Dikala itu sayapun mengucapkan: :Allahu Akbar” .
Dari hadits di atas maka kita dapat mendiskripsikan betama tingginya antosiasme para sahabat untuk mendapatkan hadits itu sendiri. Sehingga mereka tidak mau melepaskan diri dari untuk selalu memantau akan keadaan Rasul dan dijadikan rujukan dalam melakukan aktifitas mereka.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Rasul itu sendiri adalah orang yang diperlihara oleh Allah akan kesemuanya, sehingga tidak ada kekhawatiran akan ada sesuatu yang dilakukan oleh beliau kecuali yang sesuai dengan hukum Islam itu sendiri atau mencerminkan nilai-nilai Qur’ani. Sebagaimana firman
“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".". (Qs.Ali Imron:32)
Sedangkan dalam ayat yang lain desebutkan bahawa ummad manusia untuk senantiasa bertakwa kapada Rasulnya adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.( QS. An-Nisa:136. 136 )
Dengan demikan para sahabat tidak ada keraguan sedikitpun dengan apa yang ada pada Rasul, dan mereka mengangap bahwa beliaulah adalah orang yang mendapat keistimiwaan dan pameliharaan langsung dari Allah sebagai Rasul untuk di contoh oleh ummatnya.
Kekuatan hafalah mesih menjadi senjata untama para sahabat untuk menjaga hadits. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Lalu menggambarkan lafal dan maknanya itu dalam dzihin mereka. Tidak hanya itu para sahabat melihat apa yang Nabi kerjakan. Dan ada beberapa sahabat yang banyak menerima Hadits dapat diklasifikasikan sebagaimana berikut:
1. Yang mula masuk Islam yang dinamai “as sabiqunal ‘l awwalun”, seperti: Khulafa empat dan Ibn Mas’ud;
2. Yang selalu berada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti Abu Khurairah dan yang mencatat Abdullah ibn Amer ibn Ash;
3. Yang lama hidup sesudah Nabi, dapat menerima Hadits dari sesama sahabat, seperti: Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas
4. Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu: Ummu-hatu’l mu’Minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah
Menurut catatan Adz Dzuhaby, ada 31 orang Shahaby yang banyak meriwayatkan Hadits diantaranya: Aisyah, Ummu Salamah dan Khulafa Rasyidin.
C. Larangan Menulis Hadits
Larangan menulis hadits pada saat itu dilakukan oleh rasul itu sendiri. Salah satu alasannya bahwa Hadits masih dalam proses pembentukan dan pertumbuhan yang yang berlangsung hingga Nabi Saw wafat. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas Rasul menjadi inspirasi dalam hadits itu sendiri. Dan para sahabat pada saat itu dapat memahami dan menjadikan Nabi sebagai tolak ukur dalam beraktifitas sehari-hari. Hadits pada saat itu berjalan secara alamiah seperti apa yang telah di terangkan diatas.
Perhatian penuh yang diberikan oleh Rasul dan para sahabatnya dengan menghafal dan menulisnya. Dan Rasul sendiri secara tegas telah melarang para sahabat untuk menulis selain Al-Qur’an pada saat itu. Rasul sendiri khawatir haditis itu sendiri akan bercapur adukan dengan Al-Qur’an sebagai mana sabdanya:
“janganlah kamu sekalian menulis (apa yang kalian dengar) dariku selain Al-Qur’a. dan barang siapa yang telah menulis selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya! Ceritakan (apa yang kalian dengar) dariku itudan tidak apa-apa. Dan barang siapa membuat kedustaan atas nama saya dengan sengaja maka hendaklah ia bersiap-siap menemapti tempat duduknya dari api neraka” (HR. Muslim, al Damiri dan Ahmad Imam Ahmad dari sahabat Abu Sa’ad al-Khudri)
Dengan demikian dari taks Hadits diatas dapat dipahami bahwa larangan tegas telah disampaikan oleh Nabi. Kerena Nabi itu sendiri maresa khawatir jika hadits nantinya ditulis perhatian sahabat terdapat Al-Quran berkurang, dan catatan-catatan hadits nantinya di takutkan akan bercampur dengan tulisan Al-Qur’an yang memang telah diperintahkan oleh Nabi untuk menulis dan menghafalnya.
Menurut M. Hasbi Ashiddieqy dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits diperkirankan hadits tidak ditulis adalah sebagai mana berikut:
1. Mentadwinkan ucapan-ucapannya, amalan-amalannya, mua’amalah-mu’amalahnya adalah suatu keadaan yang sukar, karena memerlukan ada segolongan yang terus menerus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu, masih dapat dihitung.
Oleh karenannya Al-Qur’an merupakan sumber asasi dari tasyri’ maka beberapa orang penulis itu, dikerahkan tenaganya untuk menulis Al-Qur’an dan Nabi memanggil mereka untuk menuliskan wahyu itu setiap turunnya.
2. Karena orang Arab¬¬ – disebabkan mereka tak pandai menulis, dan membaca tulisan, - kuat berpegang kepada kekuatan hafalah dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya.
3. Karena dikahwatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al-Qur’an dengan tidak disegaja.
Meskipun demikian faktanya, maka bukanlah hadits pada saat itu dikesampingkan dengan sedemikian rupa, akan tetapi perhatian para sahabat terhadap hadits itu sendiri hanya sebatas untuk kebutuhan peribadi. Baik itu ditulis maupun hanya meliahat dan menerima imbawan dari Nabi yang itu semua termasuk kedalah Hadits dan itu menjadi kebutuhan pribadi dan ditulis untuk pribadi para sahabat.
Ada beberapa orang yang mempunyai lambaran tulisan Hadits pada saat itu antara lain adalah, Abdullah ibn Amr ibn Ash yang dikenal dengan nama al-Shahifah al- Shadiqoh. Dinamakan demikian karena dia langsung menulis Hadits secara langsung dari Nabi Saw. sendiri. Sehingga dipandang riwayat yang paling benar. Demikian pula Ali bin Abi Thalib dan Anas ibn Malik, mereka juga mempunyai catatan hadits. Dengan demikian bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul itu sendiri, akan tetapi ada riwayat lain yang menyatakan ijin, bahkan perinta, dari Nabi Saw untuk menulis Hadits.
Dalam penulisan menulis Hadits disini para sahabat ada ketimpangan informasi, yang mana dalam satu riwayat menceritakan bahwa:
“Janganlah kamu sekalian menulis (apa yang kalian dengar) dariku selain Al-Qur’an. Dan barangsiapa yang telah menulis selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya! (Ceritakan apa yang kalian dengar) dariku dan tidak apa-apa. Dan barangsiapa membuat kedustaan atas nama saya dengan sengaja maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya dari api neraka”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“tulislah (apa yang kamu dengar (dariku, karena demi dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenara” (HR. Abu daud, al-Damiri, & Ahmad Imam Ahmad).
Perintah menulis hadits-haditsnya terjadi pada saat peristiwa fathu Makkah. Yaitu Nabi memerintah salah-satu sahabat laki-laki dari yaman untuk menulis pidato atau khotbahnya (tulislah untuk Abu Syab ini)
Dari dua hadits diatas kita dapat pahami bahwa dalam masalah penulisan Hadits pada masa Nabi Saw. ada dua sisi yang berlawanan. Pertama Nabi sendiri melarang menulis Hadits karena bliau khawatir akan terjadi percampuran antara taks Al-qur’an dan Al-Hadits. Yang kedua, dalam hadits yang lain Nabi dengan tegas mengizinkan untuk menulis Hadits. Dalam dua titik permasalahan yang bertentangan ini ulama’ berpendapat sebagai berikut:
Partama dinasakh (dihapus) dengan hadirnya Hadits yang membolehkan akan menulis Hadits itu sendiri. Letak dari permasalahanya dalam Hadits melarang untuk menuis adalah pada kekhawatiran akan bercampur adukan dengan atau dalam rangka menjega kemurnian Al-Qur’an. Maka jika kekhawatiran tersebut diperkirakan tidak ada, maka dengan sendirinya Hadits tersebut terhapus.
Kedua lalarangan menulis Hadits itu dalam rangka memelihara Al-Qur’an akan berrcapurnya dengan Hadits. Yang dimaksud menulisan Hadits disini adalah yang sifatnya resmi. Akan tetapi jika menulis Hadits hanya berdasarkan kepentingan pribadi, maka tidak apa-apa. Dari sini kita dapat pahami bahwa larangan penulisan Hadits itu bersifat umum, sedangkan ijin untuk menulis Hadits hanya diperbolahkan kepada sahabat tertentu saja.


BAB IIV
KESIMPULAN
Hadits pada masa Rasul atau dengan kata lain pada preode pertama mimang kurang mendapat perhatian dari dari Nabi Muhammad Saw. Menurut beliau, ditakutkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Disini lain pada saat itu para sahabat sedikit sekali yang bisa menulis, mereka lebih mengandalkan daya hafalan untuk mengingatnya.
Para sahabat untuk mendapatkan hadits mimang cukup mudah. Yang mana Nabi dapat dijumpai oleh mereka baik itu dipasar di rumah, Masjid atau pun dimana saja. Nabi tidak harus berdiam diri dirumah atau bahkan orang-orang tertentu yang bisa menemui beliau itu tidak berlaku. Bahkan para sahabat meresa sangat dekat dengannya, sehingga meskipun masalah pribadi sahabat dicurhatkan pada Nabi, dan beliaupun selalu menanggapi apa yang mereka sampaikan dan memberi solusinya berdasarkan ajaran agama Islam itu sendiri.
Akan tetapi mengenai tanggapan Nabi sendiri pada penulisan Hadist itu Nabi melarangnya, sedangkan untuk keperluan pribadi beliau mengizinkan. Atau larangan penulisan Hadits itu bersifat umum, sedangkan ijin untuk menulis Hadits khusus kepada sahabat tertentu saja.


DAFTAR PUSTAKA
Ash Shidieqy, M. Hasbi, “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits”,(Jakarta: Bulan Bintang, 1954)
Octoberrinsyah, Drs, MA. “Al-Hadits” (Yogyakarta: Pokja Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2005)
Abdul majid Hasyim al-Hasani, Usul al_Hadits al-Nabawi, kairo: al-Qohirah al-Haditsah li al-talabah
Muhammad’Ajaj al-Khatib Usul Hadits: ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Bairut Dar al Fikr, 1989)

0 komentar:

Posting Komentar