ZOOM

ZOOM
gaya

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Senin, 03 Oktober 2011

EPISTEMOLOGI


Epistemologi  secarah historis digunakan pertama kali oleh J.F Ferrir, yaitu dalam rangka membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Epistemologi sebagai cabang dari filsafat itu sendiri termasuk bagian hal yang unik, karena banyak orang yang menafsirkan apa itu epistemologi. Dari masing-masing mereka mempunyai kesimpulan yang berbeda, tergantung dari sudut mana mereka memandang epistemologi itu sendiri.
Dalam epistemologi ada juga menyebutnya sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara istilah epistemologi berasal dari kata yunani epistem berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Seperti apa yang tela disebut diatas bahwa epistemologi ini adalah cabang filsafat yang mepelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasinya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah,  Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?  Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Dalam pengertian yang lain, epistemologi adalah pembahasan bagaimana kita mendapatkan pengetahuan, yaitu dengan  membentuk sebuah pertanyaan: apakah sumber-sumber pengetahuan? Aapakah, hakekat jankauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan untuk ditangkap manusia? Pengerian yang seperti ini menurut William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Hal yang sama juga diunkapkan oleh D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Pengertian diatas lebih kapada hakekat dari pada pengetahuan itu sendiri yaitu pada ciri-ciri pengetahuan. Berbicara masalah ciri-ciri pengetahuan maka akan lahir dua aliran yang disebut denga realisme dan idealisme. Realisme adalah kepatuhan kita terhadap realitas, sedangkan idealisme adalah realitas itu sendiri atas dasar ide, akal pikiran dan jiwa
Menurut  D.W Hamlyn, P. Hardono Hadi, mengatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Menurut P.Hardono Hadi, lebih kapada Kodrat yang dalam hal ini sangat dengan sifat yang asli dari pengetahuan itu sendiri.
Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah bagian dari cabang dari filsafat yang membahas masalah teori pengetahuan untuk mensistematiskan yaitu dengan  metode-metode dalam  mengkaji objek pengetahuan untuk menemukan prinsip kebenaran.
A.    RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI
Secara garis bersar, epistemologi sangat luas cakupannya. Namun ternyata hanya aspek-aspek tertentu yang mendapat perhatian besar dari para filosof, sehingga mengesankan bahwa seolah-olah wilayah pembahasan epistemologi hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu. Sedangkan aspek-aspek lain yang jumlahnya lebih banyak cenderung diabaikan. Seperti pendapatnya Gallagher secara ekstrem  menarik kesimpulan, bahwa epistemologi sama luasnya dengan filsafat.
Ada  pendapat  lain mengatakan epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak. Sedangkan Amin Abdullah, mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Bagian-bagian lainnya jauh lebih banyak, sebagaimana diuraikan di atas. (diperoleh dari web WIKIMEDIA pada 14:23, 26 Mei 2011).
B.     OBJEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut. Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
C.    LANDASAN EPISTEMOLOGI
Di dalam filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah; yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
D.    HUBUNGAN EPISTEMOLOGI, METODE DAN METODOLOGI
Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi. Untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi. Untuk mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya perlu memahami terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji”.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau  ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, sedangkan Metodologi yang akan mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut.
Dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat.
Dari pembahasan diatas maka dapat simpulkan bahwa epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, epistemologi menjadikan  ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Karena  dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.

SKULERIME DAN ISLAM



Skularisme menjadi suatu perdebatan yang sangat hangat dikalangan para cendikiawan khususnya muslim di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari pro dan kontra dengan skularisme itu sendiri. Dengan argumen yang sama-sama kuat, keduanya masih belum menemukan titik penyelesaian. Dan pada akhirnya hanya melahirkan opini-opini  lain mengenai skularisasi itu sendiri.
Sebelum lebih jauh, agar pembahasan makalah ini lebih terarahnya, maka yang akan dibahas pertama kali adalah mengenai definisi skuler-isme itu sendiri. Harvey Cox pada tahun 1960-an talah menjelaskan secara rinci bahwa istilah scular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti “zaman sekaran” (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia., yaitu mundus yang kemudian di-Inggriskan menjadi mundane kata seaculum lebih menunjukkan ‘masa’ dibandingkan mundus yang menunjukkan makna ’ruang’ kata seaculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus  sepadan dengan kata cosmosjuga dalam bahasa yunani kuno.[1]
Untuk pengertian skuler lebih mengerucutnya adalah, bahwa konteks dunia berubah secara terus-menerus. Akhirnya, berujung kapada kesimpulan bahwa nilai kerohanian adalah relatif.[2] Sehingga dalam hal ini bergeser pada pemahaman kenegaraan, sebagaimana Cox ahli teolog dan sosiolog Harvatd University membedakan antara dunia dangan agama. Dia berpendapat bahwa yang dimaksud perubahan disini adalah sebatas perubahan dunia, sedangkan agama itu kekal dan abadi. Maka dari itu agama lebih hebat dari dunia skuler yang mana skuler itu bersifat sementara.
Seirama dengan perkembangan zaman, makna skuler itu mengalami pergeseran. Yang mana pada awalnya skuler itu memiliki makna perpindahan tanggung jawab yang agamis menjadi seorang parokia, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Skulerisasi bermakna pembagian antara institusi spritual dan skuler. Skulerisasi bermakna bermakna pindahan tanggung jawab tertentu dari gereja kepada kekuasaan politik.
Menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Oleh karena itu skularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Nurholish Madjid sebagai tokoh yang memperkenalkan konsep skuler di Indonesia. Menurutnya bahwa skuler dengan konsep keduniawian tidak bisa dianggap bernilai rendah dan hina, hal ini pun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi menghindari dari realitas kehudupan duniawi.
Ketika kita lihat akar sejarah lahirnya skulerisme disini berangkat dari sejarah sikap orang kriten yang dihadapkan dengan polemik kehudupan yang skuler pada saat itu. Doktrin agama mereka tidak mampu mengimbangi kemajuan berfikir orang barat umumnya pada saat itu, yang terbentuk dari keberagaman unsur, sehingga mereka lambat laun meninggalkan ajaran agama mereka. Dan dengan demikian ada gagasan revolusi teologi radikal yang diplopori oleh Ladwig Feurbach dan yang lainnya.
Dunia, menurtut Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai rohani dan agama. Dilam istilahnya hal disebut dengan disenchantment of nature, dalam sebuah terjemahan yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog jerman[3]. Menurutnya juga berpendapat sains akan berkembang dan maju jika dunia dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan adanya kekuatan supranatural yang menjaga dunia.
Gabriel Vahanian, seorang teolog Neo-Calvinis juga mengatakan, “skuler adalah keharusan seorang kristiani”. Mungkin hal ini bagi umat kristen, karena doktri keagamaan yang ada tidak mampu mengimbangi laju pemikiran mereka. Sedangkan doktrin agama mereka pada saat itu tidak mampu mengimbangi bahkan bertentangan dengan pola pikir mereka maka timbul gagasan bahwa agama yang telah membelenggu mereka untuk bergerak lebih maju.
Indonesia konsep skuler ini diperkenalkan oleh Norholis Madjid, seperti yang telah disebutkan diawal dalam makalah ini. beliau mengkonsepsi bahwa the man is god,  hal menggunakan nalar dengan konsep bismillah yang secara implisit mempunyai konotasi bahwa menusia benar-benar menjadi kholifah dimuka bumi untuk mengatur segala yang ada. Perubahan yang akan terjadi itu tergantung sejauh mana manusia mengaturnya. Juga dengan pengikraran yang disebut dalam Islam adalah Kalimat syahadat yang telah membebaskan manusia dari paham-paham Animisme dan Dinamisme itu mencerminkan bahwa manusia benar-benar merdeka.
Berry Kosmin yang dikutib dalam buku Argmen Islam Untuk Skulerisme, membagi dua akan skulerime itu sendiri. Skulerisme keras dan skulerime lunak. Skulerisme keras yang dimaksudkan oleh Berry adalah mengangap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistimologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman. Sedangkan skularisme lunak  yang dimaksud disini adalah pencapaian kebernaran mutlak adalah mustahil,  dan oleh karena itu toleransi dan skeptisme yang sehat ­­bahkan agnotisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara ilmu dan pengetahuan.[4]
Dari dua tipe skulerisme diatas cukup nampak perbedaannya yang mana skulerisme keras adalah lebih kepada kekuatan diri manusia itu sendiri dalam pengatur masalah keduniaan ini, dan menganggap Tuhan tidak perlu lagi. Tempat Tuhan telah diganti dengan ilmu pengertahuan yang dianggap sebagai “penyelamat”  manusia. Dengan demikian ada kecendrungan kuatan skulerisme ini menolak transendensi, maka dengan demikia ada kecendrungan paham skulerisme mengarah kapada eteisme. Hal ini bisa kita lihat di Eropa yang telah menganut skulerisme dalam ketatanegaraannya mengangap bahwa Tuhan adalah penghalang dalam melakukan proses kemajuan, maka dengan itu mereka mengagung-agungkan ilmu pengetahuan yang akan menyelesaikan segala permasalahan menusia. Dan disaat seperti itu peranan Tuhan pun dipertanyakan, bahkan ditolak.
Memang berdasarkan wacarana diatas ada banyak ragam penafsiran tentang skulerisme. Namun keberagaman tersebut hanya terletak kapada sejauh mana skulerisme itu menjauhkan manusia dari nilai-nilai keagamaan. Seperti pendapatnya Nurcholish Madjid skuler bukan lantas memisahkan, akan tetapi hanya sebatas membedakan persoalan duniawi dengan ukrawi. Namun pada endingnya pembahasan, hal ini akan berimplikasi kepada skulerisme yang mengerdilkan peranan agama dalam kehidupan manusia. Seperti pendapat Syaiufl Arifin yang dikutib dalam buku Argumen Islam Untuk Skulerisme mengatakan, skulerisme itu bukan meminggirkan agama, tapi pembagian peran. 
Dalam islam, baik itu ranah politik, budaya bahkan negara sebernarnya sudah ada didalamnya. Misalkan dibidang kenegaraan, bagaimana Rasul memberikan keteladanan selama beliau menjadi pemimpin agama dan negara. Sehingga umat manusia khususnya keum Muslimin meneladani apa-apa yang ada pada Nabi pada saat itu. Nilai toleransi pada saat itu benar-benar terialisasikan dan menyentuh disetiap lini kehidupan rakyatnya. Hal itu terbukti dengan adanya Piagam Madinah yang telah membuat rumusan untuk kebaikan bersama antar pemeluk agamadalam satu negara untuk menciptakan kerukunan demi tercapainya kedamaian dan sejahteraan.
Penulis dalam makalah ini akan menyampai konsep kenegaraan itu tidak harus memisahkan diri dari nilai-nilai ketuhanan, karena Tuhan dalam diri manusia itu tidak bisa di pisahkan (homo riligus). Yang dimaksud dengan sentuhan Tuhan dalam tata kenegaraan itu adalah bagaimana nilai-nilai keagamaan yang sifatnya itu global (disemua agama ada) maka hal yang demikian itu tidak bermasalah.
Yang menjadi permasalah sebenarnya adalah ketika akal ditempatkan diatas segala-galanya dengan ilmu pengetahuan mereka, karena tidak selamanya ilmu pengatahuan itu akan menjadi kebenaran umum, sehingga akan terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam menentukan kebenaran yang lebih condong kepada kebenaran menurut pribadi-pribadi. Disinilah nantinya akan timbul bibit-bibit pertentangan. Maka dengan demikian yang harus kita kedapankan adalah rasa toleransi untuk tetap menciptakan kedamaian dalam bernegara. Sebagaimana sabda Rasul : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi" (Shahih Al-Jami’ As-Shaghir 1108).
Hadis diatas telah menganjurkan kepada umat Islam untuk toleransi tidak ada fanatisme golongan suku, ras dan lain sebagainya. Kita bisa lihat dalam sejarah Islam mengenai toleransi yang dilakukan oleh Nabi Muhammmad SAW. ketika peristiwa piagam madinah. Pada saat itu tidak ada istilahnya diskriminasi golongan, yang terlihat adalah nuansa kebersamaan dan saling menghormati.
Pada esensinya, dalam berbangsa dan bernegara itu adalah bagaimana dalam hidup damai, rukun untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan maju. Maka dengan demikian haruslah bagi para pemerintah negara merumuskan untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan dalam negara itu sendiri. Itulah yang harus menjadi kometmen bersama dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara.
Dalam Islam yang berkenaan dengan hal itu sudah jelas diajarkan kepada umat Muslim. Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi, Islam  adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.
Maka denga demikian, dalam menata sebuah kenegaraan tidak harus meninggalkan nilai-nilai agama dan keTuhan. Yang mana dalam berbangsa dan bernegara agama banyak memberikan konstribusi yang sangat positif terhadap negara, melalui pemahaman yang benar terhadap ajaran agama itu sendiri.


[1] Armas, Adnin, MA. Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal.Gema Insani. Jakarta. 2003
[2] Ibid hal 10
[3] Frase disenchantment of the word dugunakan oleh freidch schiller dan pemetik oleh Weber dalam karyanya Essays in Sociolog (New York: 1958) dan Sociolog of religion (Boston, 1964).
[4]  Munawar, Budhy. Rachman. Argumen Islam Untuk Skulerisme(Jakarta PT. Gramedia. 2010) hal . 5

SKULERIME DAN ISLAM



Skularisme menjadi suatu perdebatan yang sangat hangat dikalangan para cendikiawan khususnya muslim di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari pro dan kontra dengan skularisme itu sendiri. Dengan argumen yang sama-sama kuat, keduanya masih belum menemukan titik penyelesaian. Dan pada akhirnya hanya melahirkan opini-opini  lain mengenai skularisasi itu sendiri.
Sebelum lebih jauh, agar pembahasan makalah ini lebih terarahnya, maka yang akan dibahas pertama kali adalah mengenai definisi skuler-isme itu sendiri. Harvey Cox pada tahun 1960-an talah menjelaskan secara rinci bahwa istilah scular berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti “zaman sekaran” (this present age). Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia., yaitu mundus yang kemudian di-Inggriskan menjadi mundane kata seaculum lebih menunjukkan ‘masa’ dibandingkan mundus yang menunjukkan makna ’ruang’ kata seaculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus  sepadan dengan kata cosmosjuga dalam bahasa yunani kuno.[1]
Untuk pengertian skuler lebih mengerucutnya adalah, bahwa konteks dunia berubah secara terus-menerus. Akhirnya, berujung kapada kesimpulan bahwa nilai kerohanian adalah relatif.[2] Sehingga dalam hal ini bergeser pada pemahaman kenegaraan, sebagaimana Cox ahli teolog dan sosiolog Harvatd University membedakan antara dunia dangan agama. Dia berpendapat bahwa yang dimaksud perubahan disini adalah sebatas perubahan dunia, sedangkan agama itu kekal dan abadi. Maka dari itu agama lebih hebat dari dunia skuler yang mana skuler itu bersifat sementara.
Seirama dengan perkembangan zaman, makna skuler itu mengalami pergeseran. Yang mana pada awalnya skuler itu memiliki makna perpindahan tanggung jawab yang agamis menjadi seorang parokia, semakin meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar. Skulerisasi bermakna pembagian antara institusi spritual dan skuler. Skulerisasi bermakna bermakna pindahan tanggung jawab tertentu dari gereja kepada kekuasaan politik.
Menurut Cox, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis. Oleh karena itu skularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Nurholish Madjid sebagai tokoh yang memperkenalkan konsep skuler di Indonesia. Menurutnya bahwa skuler dengan konsep keduniawian tidak bisa dianggap bernilai rendah dan hina, hal ini pun bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh curiga kepada kehidupan duniawi ini, apalagi menghindari dari realitas kehudupan duniawi.
Ketika kita lihat akar sejarah lahirnya skulerisme disini berangkat dari sejarah sikap orang kriten yang dihadapkan dengan polemik kehudupan yang skuler pada saat itu. Doktrin agama mereka tidak mampu mengimbangi kemajuan berfikir orang barat umumnya pada saat itu, yang terbentuk dari keberagaman unsur, sehingga mereka lambat laun meninggalkan ajaran agama mereka. Dan dengan demikian ada gagasan revolusi teologi radikal yang diplopori oleh Ladwig Feurbach dan yang lainnya.
Dunia, menurtut Cox, perlu dikosongkan dari nilai-nilai rohani dan agama. Dilam istilahnya hal disebut dengan disenchantment of nature, dalam sebuah terjemahan yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog jerman[3]. Menurutnya juga berpendapat sains akan berkembang dan maju jika dunia dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan adanya kekuatan supranatural yang menjaga dunia.
Gabriel Vahanian, seorang teolog Neo-Calvinis juga mengatakan, “skuler adalah keharusan seorang kristiani”. Mungkin hal ini bagi umat kristen, karena doktri keagamaan yang ada tidak mampu mengimbangi laju pemikiran mereka. Sedangkan doktrin agama mereka pada saat itu tidak mampu mengimbangi bahkan bertentangan dengan pola pikir mereka maka timbul gagasan bahwa agama yang telah membelenggu mereka untuk bergerak lebih maju.
Indonesia konsep skuler ini diperkenalkan oleh Norholis Madjid, seperti yang telah disebutkan diawal dalam makalah ini. beliau mengkonsepsi bahwa the man is god,  hal menggunakan nalar dengan konsep bismillah yang secara implisit mempunyai konotasi bahwa menusia benar-benar menjadi kholifah dimuka bumi untuk mengatur segala yang ada. Perubahan yang akan terjadi itu tergantung sejauh mana manusia mengaturnya. Juga dengan pengikraran yang disebut dalam Islam adalah Kalimat syahadat yang telah membebaskan manusia dari paham-paham Animisme dan Dinamisme itu mencerminkan bahwa manusia benar-benar merdeka.
Berry Kosmin yang dikutib dalam buku Argmen Islam Untuk Skulerisme, membagi dua akan skulerime itu sendiri. Skulerisme keras dan skulerime lunak. Skulerisme keras yang dimaksudkan oleh Berry adalah mengangap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistimologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman. Sedangkan skularisme lunak  yang dimaksud disini adalah pencapaian kebernaran mutlak adalah mustahil,  dan oleh karena itu toleransi dan skeptisme yang sehat ­­bahkan agnotisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara ilmu dan pengetahuan.[4]
Dari dua tipe skulerisme diatas cukup nampak perbedaannya yang mana skulerisme keras adalah lebih kepada kekuatan diri manusia itu sendiri dalam pengatur masalah keduniaan ini, dan menganggap Tuhan tidak perlu lagi. Tempat Tuhan telah diganti dengan ilmu pengertahuan yang dianggap sebagai “penyelamat”  manusia. Dengan demikian ada kecendrungan kuatan skulerisme ini menolak transendensi, maka dengan demikia ada kecendrungan paham skulerisme mengarah kapada eteisme. Hal ini bisa kita lihat di Eropa yang telah menganut skulerisme dalam ketatanegaraannya mengangap bahwa Tuhan adalah penghalang dalam melakukan proses kemajuan, maka dengan itu mereka mengagung-agungkan ilmu pengetahuan yang akan menyelesaikan segala permasalahan menusia. Dan disaat seperti itu peranan Tuhan pun dipertanyakan, bahkan ditolak.
Memang berdasarkan wacarana diatas ada banyak ragam penafsiran tentang skulerisme. Namun keberagaman tersebut hanya terletak kapada sejauh mana skulerisme itu menjauhkan manusia dari nilai-nilai keagamaan. Seperti pendapatnya Nurcholish Madjid skuler bukan lantas memisahkan, akan tetapi hanya sebatas membedakan persoalan duniawi dengan ukrawi. Namun pada endingnya pembahasan, hal ini akan berimplikasi kepada skulerisme yang mengerdilkan peranan agama dalam kehidupan manusia. Seperti pendapat Syaiufl Arifin yang dikutib dalam buku Argumen Islam Untuk Skulerisme mengatakan, skulerisme itu bukan meminggirkan agama, tapi pembagian peran. 
Dalam islam, baik itu ranah politik, budaya bahkan negara sebernarnya sudah ada didalamnya. Misalkan dibidang kenegaraan, bagaimana Rasul memberikan keteladanan selama beliau menjadi pemimpin agama dan negara. Sehingga umat manusia khususnya keum Muslimin meneladani apa-apa yang ada pada Nabi pada saat itu. Nilai toleransi pada saat itu benar-benar terialisasikan dan menyentuh disetiap lini kehidupan rakyatnya. Hal itu terbukti dengan adanya Piagam Madinah yang telah membuat rumusan untuk kebaikan bersama antar pemeluk agamadalam satu negara untuk menciptakan kerukunan demi tercapainya kedamaian dan sejahteraan.
Penulis dalam makalah ini akan menyampai konsep kenegaraan itu tidak harus memisahkan diri dari nilai-nilai ketuhanan, karena Tuhan dalam diri manusia itu tidak bisa di pisahkan (homo riligus). Yang dimaksud dengan sentuhan Tuhan dalam tata kenegaraan itu adalah bagaimana nilai-nilai keagamaan yang sifatnya itu global (disemua agama ada) maka hal yang demikian itu tidak bermasalah.
Yang menjadi permasalah sebenarnya adalah ketika akal ditempatkan diatas segala-galanya dengan ilmu pengetahuan mereka, karena tidak selamanya ilmu pengatahuan itu akan menjadi kebenaran umum, sehingga akan terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam menentukan kebenaran yang lebih condong kepada kebenaran menurut pribadi-pribadi. Disinilah nantinya akan timbul bibit-bibit pertentangan. Maka dengan demikian yang harus kita kedapankan adalah rasa toleransi untuk tetap menciptakan kedamaian dalam bernegara. Sebagaimana sabda Rasul : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi" (Shahih Al-Jami’ As-Shaghir 1108).
Hadis diatas telah menganjurkan kepada umat Islam untuk toleransi tidak ada fanatisme golongan suku, ras dan lain sebagainya. Kita bisa lihat dalam sejarah Islam mengenai toleransi yang dilakukan oleh Nabi Muhammmad SAW. ketika peristiwa piagam madinah. Pada saat itu tidak ada istilahnya diskriminasi golongan, yang terlihat adalah nuansa kebersamaan dan saling menghormati.
Pada esensinya, dalam berbangsa dan bernegara itu adalah bagaimana dalam hidup damai, rukun untuk mewujudkan negara yang sejahtera dan maju. Maka dengan demikian haruslah bagi para pemerintah negara merumuskan untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan dalam negara itu sendiri. Itulah yang harus menjadi kometmen bersama dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara.
Dalam Islam yang berkenaan dengan hal itu sudah jelas diajarkan kepada umat Muslim. Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi, Islam  adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.
Maka denga demikian, dalam menata sebuah kenegaraan tidak harus meninggalkan nilai-nilai agama dan keTuhan. Yang mana dalam berbangsa dan bernegara agama banyak memberikan konstribusi yang sangat positif terhadap negara, melalui pemahaman yang benar terhadap ajaran agama itu sendiri.
   


[1] Armas, Adnin, MA. Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal.Gema Insani. Jakarta. 2003
[2] Ibid hal 10
[3] Frase disenchantment of the word dugunakan oleh freidch schiller dan pemetik oleh Weber dalam karyanya Essays in Sociolog (New York: 1958) dan Sociolog of religion (Boston, 1964).
[4]  Munawar, Budhy. Rachman. Argumen Islam Untuk Skulerisme(Jakarta PT. Gramedia. 2010) hal . 5