Nama
lengkap Andurrauf Singkil, dalam ejaan Arab
adalah ‘Abd ar-Rauf bin ‘Ali al-Jawiyy al-Fansuriyy as-Sinkliyy, atau
yang lebih terkenal dengan nama Abdurrauf. Ia adalah orang Melayu dari Fansur,
Singkil (Singkel) diwilayah pantai barat Aceh dan masih belum diketahui tanggal
dan tahun kelahirannya. Nama ayahnya Syekh Ali keturunan Arab. Abdurrauf wafat
pada 1693 yang kemudian dimakamkan di samping makam teungku Anjong yang
dianggap paling karamat di Aceh, oleh karena itu ia dikelan dengan sebutan
Teungku di Kuala dan sampai saat ini makamnya masih menjadi tempat ziarah
berbagai lapisan masyarakat baik di Aceh sendiri maupun di luar Aceh. Berkat
kemasyhurannya nama Abdurrauf diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi
di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala.
Ada
sebagian menganggap syekh Abdurrauf ini adalah orang yang pertama kali
mengIslamkan Aceh meskipun Islam sudah ada disana sebelumnya. Menurut Hasjmi,
nenek moyang Abdurrauf ini berasal dari persia yang datag ke kesultanan
Samudrera Pasai pada akhri abad ke- 14. Kemdian mereka menetap di Fansur
(Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantau Samutra barat,
sedangkan ayah Abdurrauf menurut Hasjmi adalah kakak dari Hamzah Fanzuri,
seorang tokoh tasawuf di Aceh. Yang menebarkan ajaran wujudiaya. Ada yang mengatahan bahwa Abdurrauf ini adalah keponakan dari Hamzah
Fansuri.
Mengenai
latar belakang pendidikannya Abdurrauf ini dari sejak kecil telah belajra agama
di tanah kelahirannya, baik dari ayahnya sendiri maupun dari para ulama
setempat lainnya. Sehingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara untuk
menambah pengetahuan agama ke tanah Arab.
Sebelum
barangkat ke Arab, ia sudah melihat adanya kontroversi dan pertikaian di
daerahnya antara penganut doktrin wujudiyah yang dimotori oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsudin Sumatrani dengan ar-Raniri dan para penginkutnya. Pada saat itu
penganiayaan terhadap pengikut wujudiyah
bahkan sampai kepada pembarakaran buku-buku karangan Hamzah Fansuri.
Seperti
apa yang telah dikutip dalam buku Tasawuf Nusantara kayar Dr. Hj. Sri Mulyati,
MA dalam buku Hurgrenje II 1997, bahwa Abdurrauf
dalam menempun pendidikannya lumayan lama yaitu selama 19 tahun dengan rincian:
belajar agama pada kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh
mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baikt al-Faqih dan
tempat-tempat lain.
Osman Fathurrahman
(dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan
fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur?an dan hadis, di antaranya
adalah:
1.
Daka’
ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip
dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat
penting di Jawa.
2.
Tafsir
Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3.
Mirat
al-Turab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab
(Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara’ dari Tuhan, bahasa Melayu).
4.
Umdat
al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai
Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5.
Tanbih
al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi
Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6.
Bayan
al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa
Melayu).
7.
Bidayah
al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8.
Sullam
al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari
Faedah, bahasa Melayu).
9.
Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10. Tarjuman
al-Mustafid bi al-Jawy.
11. Syarh Latif ‘Ala Arba’ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy
(Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi,
bahasa Melayu).
12. Al-Mawa?iz al-Ba’diah
(Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13. Kifayat al-Muhtajin.
14. Bayan Tajilli
(Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15. Syair
Makrifat.
16. Al-Tareqat al-Syattariyah
(Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17. Majmu al-Masa’il (Himpunan Petranyaan).
18. Syam al-Ma’rifat
(Matahari Penciptaan).
Pada
saat kepulangan ke kampung halamannya, Syehk Abdurrahman Singkil ini dihadapkan
dengan masalahan yang sangat pelik sekali, yaitu konflik antar aliran dalam
dunia tasawuf itu sediri. Yang mana dua aliran tasawuf yang berkembang pada
saat itu berlanjut kepada fanatisme terhadap golongannya sendiri.
Kelompok
pertama yaitu paham wujudiyah yang
dimotori oleh Syaikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, sedangkan
kelompok kedua diprekarsai oleh Nuruddin ar-Raniri dengan corak tasawufnya wahdatul wujud. Kolompok perama ini diklaim
teleh keluar dari ajaran agama islam yaitu dengan mengkafirkannya para pengikut
wujudiyah oleh kelompok kedua. Yang
mana ar-Raniri menganggap paham wujudiyah
itu paham banyak tuhan (Politeisme). Sehingga keberadaannya harus dimusnahkan.
Spirit
kelompok kedua untuk memusnahkan mereka yang ikut paham wujudiyah itu benar-benar dilakukan. karya-karya masterpiece Syaikh
Hamzah Fansuri tentang wujûdiyyah, khazanah keilmuan yang sangat berharga
semuanya dibakar tanpa sisa. Tidak cukup itu, para pengikut paham tersebut pun
tidak terlepas dari pemburuan kelompok kedua untuk dibunuh, kerena mereka dianggap berbahaya.
Di
tengah-tangah berkobarnya konflik antara dua kelompok tersebut Abdurra’uf
kembali dari perjalannya yang menimba ilmu di luar. Dan merupakan suatu harapan
baru bagi keluarga istana untuk keluar dari situasi yang sangat mencekam
tersebut.
Dalam
situasi yang seperti ini Abdurra’uf
mencoba bersikap netral dan menengahi terhadap keduanya. Meskipun ia
turut mempropagandakan ajaran wadatul
wujud, akan tetapi dia mengambil jaraka dengan kaum ekstrimitas. Oleh sebab
itu, dalam hampir semua karya-karyanya, baik yang ditulis dalam bahasa Arab,
seperti Tanbih al-Masyi, atau bahasa Melayu seperti Daqa’iq al-Huruf,
dalam bentuk prosa maupun puisi, terdapat semacam reinterpretasi terhadap
ajaran tersebut, selain juga diiringi dengan sikap hati-hati dalam
menjelaskannya. Simak saja, misalnya, kutipan puisi Abdurrauf dalam salah satu
karyanya, Syair Ma’rifah ketika menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu
Fa qad ‘Arafa Rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal
Tuhannya), sebagai berikut:
“Jika tuan menuntut ilmu,
ketahui dahulu
keadaanmu,
Man ‘arafa nafsahu
kenal dirimu,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu
kenal Tuhanmu.
Kenal dirimu muhadas
semata,
Kenal Tuhanmu kadim
Zat-Nya,
Tiada bersamaan itu
keduanya,
Tiada semisal
seumpamanya”
Juga dibawah ini adalah puisi yang ditulis oleh Syeikh Hamzah Fansuri. Namun
dari dua karangan ini nanti akan sangat ketahuan akan kehati-hatiannya.
“Sabda Rasul Allah: Man
‘arafa nafsahu,
Bahwasanya mengenal
akan Rabbahu,
Jika sungguh engkau
‘abdahu,
Jangan kau cari illa
Wajhahu,
Wajah
Allah itulah yang asal kata,
Pada wujudmu lengkap
sekalian rata…”
Atau dalam puisinya yang lain:
“Tuhan kita itu tiada bermakan
Zahirnya nyata dengan rupa insan,
Man ‘arafa nafsahu suatu burhan,
Fa-qad
‘arafa Rabbahu terlalu bayan”
Dari
puisi diatas dapat kita temuakan bahwa betapa Abdurrauf lebih menegaskan
tentang sifat kekekalan (kadim) Tuhan
di satu pihak, dan sifat kamakhlukan (muhadas)
manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara
keduanya. Sedangkan Syaikh Hamzah Fansuri terlihat lebih “lantang” menyatakan
Tuhan sebagai: Pada wujudmu lengkap sekalian rata… dan Zahirnya nyata dengan
rupa insan, meskipun ia tidak sama sekali mengabaikan sisi transendensi-Nya
dengan menyatakan: Tuhan kita itu tiada bermakan. Dalam konteks Aceh saat itu,
di mana ekstrimitas tasawuf sedang dipersoalkan meskipun bisa jadi hal itu
lebih diakibatkan oleh ketidakmengertian yang sungguh-sungguh atas
ajaran-ajarannya yang memang pelik, gaya Abdurrauf ini menjadi semacam “rem
pengendali” dan cerminan dari sikap hati-hatinya.
Berbeda
dengan gaya penafsiran Syaikh Hamzah Fansuri yang cendrung labih gamblang yang
merupakan sebagai kebalikan dari gaya dari Abdurra’uf itu sendiri. Namun
disisni yang harus mendaji catatan bahwa penilaian sebuah karya harus
didudukkan dalam konteksnya masing-masing. Syaikh Hamzah Fansuri, yang memang
merupakan pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdatul wujud dari tasawuf, saat menulis karya-karyanya berada
pada masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran wujûdiyyah, berjaya bukan hanya di Aceh, tetapi juga di banyak
bagian wilayah Nusantara. Bahkan dalam skala global, periode Syaikh Hamzah
Fansuri (paruh kedua abad ke-16) ditandai oleh menghangatnya pertentangan kaum
ortodoks dengan heterodoks, seperti yang terjadi di Moghul, India. Sementara
Abdurrauf Singkel, justru memulai karir intelektual dan menulis karya-karyanya
setelah penentangan terhadap doktrin wujûdiyyah
tersebut merajalela dan bahkan di Aceh cenderung mengakibatkan situasi chaos.
Apalagi, kapasitas Abdurrauf saat itu sebagai ulama istana yang berkepentingan
menjaga stabilitas negara. Karuan saja situasi tersebut mengkondisikannya menjadi
seorang yang kompromistis, santun, bijak, hati-hati, dan dapat mengakomodasi
pihak-pihak yang bertikai.
Sikap
hati-hati Abdurrauf tidak hanya tampak dalam upayanya mengurangi kesan ekstrim
ajaran tasawuf, tindakan yang tentunya dibidikkan kepada para pengikut ajaran wujûdiyyah. Ia juga mengimbau, terutama
kepada Nuruddin ar-Raniri, untuk tidak sembarangan menuduh orang lain termasuk
mereka yang menganut ajaran wujûdiyyah sebagai
sesat dan kafir. Yang menarik, meskipun dapat dipastikan bahwa Abdurrauf bermaksud
mengkritik, baik atas ekstrimitas para pengikut ajaran wujûdiyyah Syaikh Hamzah Fansuri maupun sikap radikal Nuruddin
ar-Raniri, ternyata dalam hampir semua karangannya, tidak ditemukan satu
ungkapan pun yang menyebut nama-nama mereka secara ekspilit. Abdurrauf selalu
menggunakan kata-kata yang samar dan bersifat umum. Memang, atas hal ini tidak
tertutup kemungkinan munculnya pandangan bahwa Abdurrauf Singkel adalah sosok
ulama yang “malu-malu”, tidak berani bersikap tegas. Tetapi dalam konteks Aceh
saat itu, sikap tersebut kiranya lebih tepat dianggap sebagai wujud “sopan
santun” dan toleransi Abdurrauf yang sangat tinggi, seperti diisyaratkan oleh
A.H. Johns dalam kutipan di awal tulisan ini.
Sikap
santun Abdurrauf atas ar-Raniri sendiri sepertinya merupakan rangkaian dari
ajarannya yang sarat muatan moral. Dalam sebuah karyanya yang berbahasa Arab,
Tanbih al-Masyi, dikemukakan bagaimana misalnya seorang mukmin harus membantu
sesamanya, tidak saling mencaci maki, tidak saling mengutuk dan menghujat,
tidak menganiaya dan menelantarkannya, tidak melanggar hak-haknya, dan tidak
mudah menyebutnya sebagai kafir. Sungguh, Abdurrauf merujuk tauladan Nabi Saw.
sebagai wa innahu la ‘alâ khuluqin ‘azîm.
Dengan
demikian maka mengenai Syeihk Abdurra’uf as-Singkil ini adalah sosok yang
mencoba bersikap moderat akan tetapi dia mempunyai visi tertentu, yaitu
bagaimana mereka dalam memahami islma itu penuh dengan kehati-hatian. Beliau
dalam posisi ini adalah menjadi icon perdamaian antara kedua belah pihak yang
ekstrimis terhadap pemahaman mereka masing-masing yang hal itu akan memicu
konflik yang berkepanjangan.
Referensi
Mulyati, Sri, Dr.Hj,MA”Tasawuf Nusantara” Jakarta, Kencana,
2006