ZOOM

ZOOM
gaya

Rabu, 31 Oktober 2012

ABDURRAUF SINGKIL


Nama lengkap Andurrauf Singkil, dalam ejaan Arab  adalah ‘Abd ar-Rauf bin ‘Ali al-Jawiyy al-Fansuriyy as-Sinkliyy, atau yang lebih terkenal dengan nama Abdurrauf. Ia adalah orang Melayu dari Fansur, Singkil (Singkel) diwilayah pantai barat Aceh dan masih belum diketahui tanggal dan tahun kelahirannya. Nama ayahnya Syekh Ali keturunan Arab. Abdurrauf wafat pada 1693 yang kemudian dimakamkan di samping makam teungku Anjong yang dianggap paling karamat di Aceh, oleh karena itu ia dikelan dengan sebutan Teungku di Kuala dan sampai saat ini makamnya masih menjadi tempat ziarah berbagai lapisan masyarakat baik di Aceh sendiri maupun di luar Aceh. Berkat kemasyhurannya nama Abdurrauf diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala.
Ada sebagian menganggap syekh Abdurrauf ini adalah orang yang pertama kali mengIslamkan Aceh meskipun Islam sudah ada disana sebelumnya. Menurut Hasjmi, nenek moyang Abdurrauf ini berasal dari persia yang datag ke kesultanan Samudrera Pasai pada akhri abad ke- 14. Kemdian mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantau Samutra barat, sedangkan ayah Abdurrauf menurut Hasjmi adalah kakak dari Hamzah Fanzuri, seorang tokoh tasawuf di Aceh. Yang menebarkan ajaran wujudiaya. Ada yang mengatahan bahwa  Abdurrauf ini adalah keponakan dari Hamzah Fansuri.
Mengenai latar belakang pendidikannya Abdurrauf ini dari sejak kecil telah belajra agama di tanah kelahirannya, baik dari ayahnya sendiri maupun dari para ulama setempat lainnya. Sehingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara untuk menambah pengetahuan agama ke tanah Arab.
Sebelum barangkat ke Arab, ia sudah melihat adanya kontroversi dan pertikaian di daerahnya antara penganut doktrin wujudiyah  yang dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dengan ar-Raniri dan para penginkutnya. Pada saat itu penganiayaan terhadap pengikut wujudiyah bahkan sampai kepada pembarakaran buku-buku karangan Hamzah Fansuri.
Seperti apa yang telah dikutip dalam buku Tasawuf Nusantara kayar Dr. Hj. Sri Mulyati, MA  dalam buku Hurgrenje II 1997, bahwa Abdurrauf dalam menempun pendidikannya lumayan lama yaitu selama 19 tahun dengan rincian: belajar agama pada kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baikt al-Faqih dan tempat-tempat lain.
Osman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur?an dan hadis, di antaranya adalah:
1.      Daka’ ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
2.      Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3.      Mirat al-Turab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara’  dari Tuhan, bahasa Melayu).
4.      Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5.      Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6.      Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
7.      Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8.      Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
9.      Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10.  Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
11.  Syarh Latif  ‘Ala Arba’ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
12.  Al-Mawa?iz al-Ba’diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13.  Kifayat al-Muhtajin.
14.  Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15.  Syair Makrifat.
16.  Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17.  Majmu al-Masa’il  (Himpunan Petranyaan).
18.  Syam al-Ma’rifat (Matahari Penciptaan).
Pada saat kepulangan ke kampung halamannya, Syehk Abdurrahman Singkil ini dihadapkan dengan masalahan yang sangat pelik sekali, yaitu konflik antar aliran dalam dunia tasawuf itu sediri. Yang mana dua aliran tasawuf yang berkembang pada saat itu berlanjut kepada fanatisme terhadap golongannya sendiri.
Kelompok pertama yaitu paham wujudiyah yang dimotori oleh Syaikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, sedangkan kelompok kedua diprekarsai oleh Nuruddin ar-Raniri dengan corak tasawufnya wahdatul wujud. Kolompok perama ini diklaim teleh keluar dari ajaran agama islam yaitu dengan mengkafirkannya para pengikut wujudiyah oleh kelompok kedua. Yang mana ar-Raniri menganggap paham wujudiyah itu paham banyak tuhan (Politeisme). Sehingga keberadaannya harus dimusnahkan.
Spirit kelompok kedua untuk memusnahkan mereka yang ikut paham wujudiyah itu benar-benar dilakukan. karya-karya masterpiece Syaikh Hamzah Fansuri tentang wujûdiyyah, khazanah keilmuan yang sangat berharga semuanya dibakar tanpa sisa. Tidak cukup itu, para pengikut paham tersebut pun tidak terlepas dari pemburuan kelompok kedua untuk dibunuh,  kerena mereka dianggap berbahaya.
Di tengah-tangah berkobarnya konflik antara dua kelompok tersebut Abdurra’uf kembali dari perjalannya yang menimba ilmu di luar. Dan merupakan suatu harapan baru bagi keluarga istana untuk keluar dari situasi yang sangat mencekam tersebut.
Dalam situasi yang seperti ini Abdurra’uf  mencoba bersikap netral dan menengahi terhadap keduanya. Meskipun ia turut mempropagandakan ajaran wadatul wujud, akan tetapi dia mengambil jaraka dengan kaum ekstrimitas. Oleh sebab itu, dalam hampir semua karya-karyanya, baik yang ditulis dalam bahasa Arab, seperti Tanbih al-Masyi, atau bahasa Melayu seperti Daqa’iq al-Huruf, dalam bentuk prosa maupun puisi, terdapat semacam reinterpretasi terhadap ajaran tersebut, selain juga diiringi dengan sikap hati-hati dalam menjelaskannya. Simak saja, misalnya, kutipan puisi Abdurrauf dalam salah satu karyanya, Syair Ma’rifah ketika menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu Fa qad ‘Arafa Rabbahu (barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya), sebagai berikut:

“Jika tuan menuntut ilmu,
ketahui dahulu keadaanmu,
Man ‘arafa nafsahu kenal dirimu,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu.
Kenal dirimu muhadas semata,
Kenal Tuhanmu kadim Zat-Nya,
Tiada bersamaan itu keduanya,
Tiada semisal seumpamanya”

Juga dibawah ini adalah puisi yang ditulis oleh Syeikh Hamzah Fansuri. Namun dari dua karangan ini nanti akan sangat ketahuan akan kehati-hatiannya.
“Sabda Rasul Allah: Man ‘arafa nafsahu,
Bahwasanya mengenal akan Rabbahu,
Jika sungguh engkau ‘abdahu,
Jangan kau cari illa Wajhahu,
Wajah Allah itulah yang asal kata,
Pada wujudmu lengkap sekalian rata…”

Atau dalam puisinya yang lain:

“Tuhan kita itu tiada bermakan
Zahirnya nyata dengan rupa insan,
Man ‘arafa nafsahu suatu burhan,
Fa-qad ‘arafa Rabbahu terlalu bayan”
Dari puisi diatas dapat kita temuakan bahwa betapa Abdurrauf lebih menegaskan tentang sifat kekekalan (kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kamakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Sedangkan Syaikh Hamzah Fansuri terlihat lebih “lantang” menyatakan Tuhan sebagai: Pada wujudmu lengkap sekalian rata… dan Zahirnya nyata dengan rupa insan, meskipun ia tidak sama sekali mengabaikan sisi transendensi-Nya dengan menyatakan: Tuhan kita itu tiada bermakan. Dalam konteks Aceh saat itu, di mana ekstrimitas tasawuf sedang dipersoalkan meskipun bisa jadi hal itu lebih diakibatkan oleh ketidakmengertian yang sungguh-sungguh atas ajaran-ajarannya yang memang pelik, gaya Abdurrauf ini menjadi semacam “rem pengendali” dan cerminan dari sikap hati-hatinya.
Berbeda dengan gaya penafsiran Syaikh Hamzah Fansuri yang cendrung labih gamblang yang merupakan sebagai kebalikan dari gaya dari Abdurra’uf itu sendiri. Namun disisni yang harus mendaji catatan bahwa penilaian sebuah karya harus didudukkan dalam konteksnya masing-masing. Syaikh Hamzah Fansuri, yang memang merupakan pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdatul wujud dari tasawuf, saat menulis karya-karyanya berada pada masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran wujûdiyyah, berjaya bukan hanya di Aceh, tetapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Bahkan dalam skala global, periode Syaikh Hamzah Fansuri (paruh kedua abad ke-16) ditandai oleh menghangatnya pertentangan kaum ortodoks dengan heterodoks, seperti yang terjadi di Moghul, India. Sementara Abdurrauf Singkel, justru memulai karir intelektual dan menulis karya-karyanya setelah penentangan terhadap doktrin wujûdiyyah tersebut merajalela dan bahkan di Aceh cenderung mengakibatkan situasi chaos. Apalagi, kapasitas Abdurrauf saat itu sebagai ulama istana yang berkepentingan menjaga stabilitas negara. Karuan saja situasi tersebut mengkondisikannya menjadi seorang yang kompromistis, santun, bijak, hati-hati, dan dapat mengakomodasi pihak-pihak yang bertikai.
Sikap hati-hati Abdurrauf tidak hanya tampak dalam upayanya mengurangi kesan ekstrim ajaran tasawuf, tindakan yang tentunya dibidikkan kepada para pengikut ajaran wujûdiyyah. Ia juga mengimbau, terutama kepada Nuruddin ar-Raniri, untuk tidak sembarangan menuduh orang lain termasuk mereka yang menganut ajaran wujûdiyyah sebagai sesat dan kafir. Yang menarik, meskipun dapat dipastikan bahwa Abdurrauf bermaksud mengkritik, baik atas ekstrimitas para pengikut ajaran wujûdiyyah Syaikh Hamzah Fansuri maupun sikap radikal Nuruddin ar-Raniri, ternyata dalam hampir semua karangannya, tidak ditemukan satu ungkapan pun yang menyebut nama-nama mereka secara ekspilit. Abdurrauf selalu menggunakan kata-kata yang samar dan bersifat umum. Memang, atas hal ini tidak tertutup kemungkinan munculnya pandangan bahwa Abdurrauf Singkel adalah sosok ulama yang “malu-malu”, tidak berani bersikap tegas. Tetapi dalam konteks Aceh saat itu, sikap tersebut kiranya lebih tepat dianggap sebagai wujud “sopan santun” dan toleransi Abdurrauf yang sangat tinggi, seperti diisyaratkan oleh A.H. Johns dalam kutipan di awal tulisan ini.
Sikap santun Abdurrauf atas ar-Raniri sendiri sepertinya merupakan rangkaian dari ajarannya yang sarat muatan moral. Dalam sebuah karyanya yang berbahasa Arab, Tanbih al-Masyi, dikemukakan bagaimana misalnya seorang mukmin harus membantu sesamanya, tidak saling mencaci maki, tidak saling mengutuk dan menghujat, tidak menganiaya dan menelantarkannya, tidak melanggar hak-haknya, dan tidak mudah menyebutnya sebagai kafir. Sungguh, Abdurrauf merujuk tauladan Nabi Saw. sebagai wa innahu la ‘alâ khuluqin ‘azîm.
Dengan demikian maka mengenai Syeihk Abdurra’uf as-Singkil ini adalah sosok yang mencoba bersikap moderat akan tetapi dia mempunyai visi tertentu, yaitu bagaimana mereka dalam memahami islma itu penuh dengan kehati-hatian. Beliau dalam posisi ini adalah menjadi icon perdamaian antara kedua belah pihak yang ekstrimis terhadap pemahaman mereka masing-masing yang hal itu akan memicu konflik yang berkepanjangan.



Referensi
Mulyati, Sri, Dr.Hj,MA”Tasawuf Nusantara” Jakarta, Kencana, 2006
www.aminudinwafi.blogspot.com pada tanggal 25 mei 2012
www.anhira.com pada tanggal 25 mei 2012



0 komentar:

Posting Komentar