ZOOM

ZOOM
gaya

Senin, 03 Oktober 2011

REAKTUALISASI PERANAN MUJTAHID DALAM HUKUM FIKIH


Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang  telah memberi nikmatNya kepada kita sehingga dapat melaksanakan aktivitas kita sehari-hari. Sholawat dan salam semuga terlimpah curahkan keharibaan  Nabi Muhammad SAW. yang telah berjuang untuk menyelamatkan umat manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan yakni dengan agama Islam.
Pertama kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen yang senantiasa membimbing kami khusus dalam mata kuliah Ushul Fiqh ini dengan dosen pengampu, Bapak Dr. H. Shofiullah. Selanjutnya kami mengucapkan minta ma’af  apabila dalam proses belajar dan mengajar ada tingkah laku yang sekiranya tidak berkenan dalam  hati Bapak dosen.
Selanjutnya sebagai tugas akhir semester II dalam mata kuliah Ushul Fiqh ini kami mengankat tema “Ijtihat dan Mujtahid” .  Sengaja memang kami mengankat tema ini karena menurut kami peranan keduanya sangatlah penting dalam kehudupan sehari-hari. Seorang mujtahid nantinya harus mampu memadukan unsur samawi dan kondisi aktual bumi,  untusur lokalitas dan universitas serta unsur wahyu dan akal pikiran. Disilah letak fungsi dari seorang mujtahid untuk berijtihat agar hukum yang telah ada itu benar-benar sesuai dengan harapan agama dan manusia.
Akhirnya penulis sangat mengharap kritik dan saran dari para pembaca akan kekurangan makalah ini untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi untuk diperbaiki. Demikian kurang dan lebihnya kami mohon ma’af.
Yogyakarta, 05/06/2011 M.

Supriyadi



BAB I
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pembahasan Ijitihat dan Mujtahid disini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk kita bahas dan diaplikasikan. Yang mana Ijtihat merupakan usaha kaum muslimin dalam rangka menjawab permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam itu sendiri. sebagai penganut agama Islam maka menjadi sesuatu yang sangat fundamental sekali, yang mana kita sadari bahwa perubahan zaman telah menbawa kita pada sesutu hal yang baru, dan hal ini akan terus berlanjut dan tidak akan mengalami stagnasi. Begitu juga dalam kehudupan yang kita jalani.
Sebuah konsepsi baru menurut perspektif Islam mengenai hukum itu sendiri sangat dibutuhkan. Agar nilai hukum Islam itu sendiri tetap mewarnai disegala lini kehidupan kita, terutama yang berkenaan dengan hukum fiqih. Maka dari itu, agar hukum Islam (fiqh) itu tidak akan tertelan oleh zaman karena adanya sebagian yang tidak sesuaian dengan masa sekarang. Maka harus ada formulasi baru yang akan menjadi tuntunan atau brometer dalam setiap melakukan aktivitas, baik yang sifatnya vertikal dan horizontal.
Maka dari itu, pentingnya bagi para Mujtahid untuk mengetahui syarat-syaratnya dalam melakukan produk hukum, yaitu dengan berijtihat. Karena kegiatan ijtihad di sini adalah men-istinbatkan perbuatan-perbuatan terdahap hukum syari’at dengan dalil yang terperinci.
Dengan demikian  maka  kelihaian para mujtahid dalam berijtihad di sini sangatlah di butuhkan. Agar hukum agama tidak lagi menjadi suatu hal yang tabu karena mereka mengangap tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang. Sehingga lambat laun fiqh yang seharusnya dimiliki oleh orang muslim dan berpegang terhadapnya dan nilai-nilai islam tetap menjadi warna dalam setiap perbuatan kita, yaitu dengan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin.
B.     Rumusan masalah
Dalam makalah ini agar pembahasan lebih terarah maka kami dapat merumuskannya sebagai berikut:
1.      Sejauh mana peranan seorang mujtahid dalam menentukan sebuah hukum?
2.      Bagaimana seharusnya seorang mujtahid dalam berijtihat agar hukum dalam Islam menjadi relevan dan dapat digunakan oleh semua orang?
3.       
C.    Tujuan Makalah
Dalam pembuatan makalah ini kami mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah:
1.      Untuk memenuhi tugas makalah akhir semester mata kuliah Ushul Fiqh
2.      Untuk menyumbangkan pemikiran meskipun penulis yakin makalah ini tidak berarti apa-apa, namun harapan bersar penulis bagaimana makalah ini bisa dijadikan tambahan wawasan kapada para pembaca, baik dengan membaca langsung makalah ini atau di Blog pribadi penulis yaitu: supriyadianakmadura.blogspot.com


BAB II
A.    Pengertian Ijtihad dan Mujtahid
  Secara etimologi, ijtihad adalah kesanggupan dan kemampuan. Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Sedangkan mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad (yang berijtihad).
Upaya pencarian ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu di lakukan pemuka sahabat dengan tahapan pertama, mencari hukum dari Al-qur’an dan apabila belum di lakukan, maka mencarinya dalam Al-hadits. Apabila masalah itu tidak di temukan dalam hadits tersebut, baru melakukan ijtihad.
B.     Dasar Hukum dan Macam-Macam Ijithad
Yang menjadi landasan di bolehkannya ijtihad banyak sekali, di antaranya :
1.      Firman Allah SWT :
Artinya :”Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahi kepadamu.”
2.      Dari sunnah, yang membolehkan ijtihad :
Artinya : “Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”
Sedangkan macam-macam ijtihad menurut Dr. Dawalibi yang sesuai dengan pendapat Asy-syatibi dalam kitab Al-Muwafakat, yaitu :
a.       Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum–hukum syara’ dari nash
b.      Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c.       Ijtihad Al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Sedangkan menurut Muhammad Jaziyu Al-hakim, ijtihad di bagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.      Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada akal tidak menngunakan dalil syara’. Misalnya, menjaga kemadharatan, hukuman itu jelek bila tidak di sertai penjelasan dll.
2.      Ijtihad Syari’, yaitu ijtihad yang di dasarkan pada syara’ termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istishlah dll.

C.    Syarat-Syarat Ijtihad
1.      Syarat yang harus di miliki oleh seorang mujtahid adalah :
2.      Menguasai dan mengerti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-qur’an. Akan tetapi tidak di syaratkan untuk menghafalkannya, cukup mengetahui letak-letaknya saja.
3.      Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum.
4.      Sedangkan menurut At-taftaji, syaratnya adalah :
5.      Mengetahui naskh dan mansukh dari Al-qur’an dan As-sunnah supaya tidak salah dalam menetapkan hukum., namun tidak di syaratkan harus menghafalnya.
6.      Mengetahui permasalahan yang sudah di tetapkan melalui ijma’ ulama’.
7.      Mengetahui qiyas dan persyaratannya serta mengistinbathkannya.
8.      Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa serta berbagai problematika.
9.      Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan pondasi dalam ijtihad.
10.  Mengetahui tujuan syari’at secara umum.
D.    Hukum Melakukan Ijtihad
Ada lima hukum, yaitu :
1.      Fardhu ‘ain, apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
2.      Fardhu ‘ain, apabila di tanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, jika tidak segera di jawab maka khawatir terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum.
3.      Fardhu kifayah, permasalahan yang di ajukan kepadanya tidak di khawatirkan akan habis waktunya.
4.      Sunnah, apabila berijtihad tehadap permasalahan yang baru, baik sifatnya atau tidak.
5.      Haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru sudah di tetapkan secara qathi’.

E.     Peringkat Mujtahid
Menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah, tingkatan para mujtahid terbagi dalam lima tingkatan :
1.      Mujtahid Mustaqil Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaedah-kaedah yang ia buat sendiri.
2.      Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil namun tidak menciptakan sendiri tetapi mengikuti metode salah satu madzab.
3.      Mujtahid Muqayyad / Takhrij
Mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya, memang di beri kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya tetapi tidak boleh keluar dari kaedah-kaedah yang di pakai imamnya
4.      Mujtahid Tarjih Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij.
5.      Mujtahid fatwa Adalah orang yang hafal dan faham terhadap kaedah-kaedah imam madzab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas, tetapi dia lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

F.     Hal-Hal Yang Boleh di Jadikan Obyek Ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang jelas dan pasti. Jika kejadian yang hendak di ketahui hukum syar’inya itu telah di tunjukkan oleh dalil yang jelas dan petunjuk serta maknanya pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad.
Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang di tunjukkan nash karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dari Allah dan Rasulnya bukan menjadi obyek pembahasan.
Dalam firman Allah :
Artinya : “dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat’
Setelah sunnah perbuatan nabi menjelaskan maksud dari sholat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Apabila kejadian yang hendak di ketahui hukumnya terhadap nash yang makna dan datangnya dugaan salan satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad karena mujtahid itu meneliti dalil dugaan datangnya dari sanad-nya. Cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keaslian, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejujuran para rawinya.
 Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang di tunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang di terapkan kepada hukum itu. Hal-hal yang di jadikan pedoman dalam ijtihadnya antara lain kaedah dasar dari segi bahasa, tujuan perundingan hukum syara’, dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat di terapkan untuk kejadian ini atau tidak.


BAB III
A.    Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Hukum Islam
Ijtihad sebagaimana Wahlah Zuhaili katakan adalah nafasnya hukum islam. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang dzhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum islam.
Para ijtihad dalam hukum Islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang di hadapi para mujtahid, yang dapat di tempuh melelui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan aqli.
Dan adannya kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum itu tetap actual dalam kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan sosial, serta khazanah hukum islam akan semakin kaya.
B.     Perlunya fikih Tranpormatif Dan Aplikatif
Secara historis, fikih mengalami perkembangan pesat sejak awal dan mencapai puncaknya pada preode tadwin, yakni masa kodifikasi kitab-kitab fikih setelah mapan dengan lahirnya imam-imam.[1] Namaun perkambangan fikih tersebut efek nigatif yang tak terduga, yakni munculnya tradisi taqlid sejak akhir tahun 300 H. yang memakan waktu sangat panjang bahkan sampai saat ini. Problematika fikih sudah dirasa tidak ada lagi hubungan erat antara fikih dengan realitas empirik dan magasid as-syari’ah yang disebabkan tiga hal: pertama fikih yang sudah terkodifikasi dibuat dalam konteks negara Timur Tengah. Kedua kebanyakan prodak fikih itu oleh fatwa-fatwa yang sudah lama oleh para fuqaha’ yang tidak memiliki gambaran kehidupan manusia kontemporer. Ketiga adanya keteputusan maqasid as-syari’ah dengan ketentuan fikih akibat diaplikasikannya fikih masa lalu pada konteks kehudupan kehidupan kontemporer.[2]
Agar fikih tetap menjadi warna dalam setiap kehidupan manusia, maka fikih harus peka dalam menyoroti problem-problem kekinian. Sehingga fikih tidak mengalami kebekuan dan mampu mengimbangai perubahan zaman. Dengan demikian maka fikih menjadi solusi bagi umat Islam yang terdapat pada kehudupan menusia itu sendiri yang berdasarkan hukum syar’ei.
Dalam hal ini, fikih harus menjadi jembatan untuk memadukan unsur-unsur samawi dan kondisi aktual bumi, unsur lakolitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran. Jadi fikih disini bukan hanya dipahami sebagai sesuatu yang sakral. Kalau kita lihat pada sejarah tumbuhya fikih itu sendiri adalah tidak terlepas dari problematika yang ada pada saat itu. Sehingga mereka para ulama terdahulu melakukan pengkajian yang disandarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadis. Misalnya kita temui ada fikih Madinah, fikih Irak atau ada qaul qadim dan qaul jadid-nyA Imam Syafi’i, fikih Maliki, fikih Hanbali serta dan fikih-fikih yang lain.[3]
Disinilah letak keharusan adanya perbaikan fikih itu sendiri dalam menangani masalah-masalah kekinian. Dan yang lebih penting lagi adalah para mujtahid untuk benar-benar peka terhadap problem kekinian, sehingga ruh fikih benar-benar telah kembali dan siap menjadi ajuan dalam setiap problemati-problema dan majadi solusi yang mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadis.


BAB IV
Kesimpulan
Kita ketahui dalam al-Qur’an itu ada nash-nash yang dzhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum islam.
Para ijtihad atau mujtahid dalam hukum Islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang di hadapi para mujtahid, yang dapat di tempuh melelui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan aqli.
Dalam melakukan pengkajian nash al-Qur’an dan kemudian dipadukan dengan problem kekinian itu menjadi sebuah keharusan. Karena kita ketahui bahwa zaman ini akan selalu bergerak, begitu juga dengan pola kehidupan mansusia. Maka dari itu diperluakan kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, yang akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum itu tetap aktual dalam kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan sosial, dengan demikian khazanah hukum islam pun akan semakin kaya.
Wallahua’lam bisshawab………….


DAFTAR PUSTAKA
ü  Mawardi, Ahamad Imam, 2010  , Fkih Minoritas, yogyakarta: Lkis.
ü  Wahjoyo, Padmo, ,1996 “Budaya Hukum Islam dalam  Perspektif Pembentukan Hukum Dimasa yang di Masa yang Datang”, dalam Amrullah Ahmad dkk (ed) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta; Gema Insani Press
ü  Syafe’I, Rachmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia





[1] Ahamad Imam Mawardi, Fkih Minoritas,(yogyakarta: Lkis, 2010), hlm. 273
[2] Ibid., hlm. 274
[3] Padmo Wahjoyo, “Budaya Hukum Islam dalam  Perspektif Pembentukan Hukum Dimasa yang di Masa yang Datang”, dalam Amrullah Ahmad dkk (ed) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: mengenang 65 th. Prof. Dr. H. Bustahul Arifin SH, (Jakarta; Gema Insani Press,1996), hlm. 167

0 komentar:

Posting Komentar